15. Cafe Tutup

10 2 1
                                    

Memulai sesuatu tanpa menyelesaikan sakit di masalalu nyatanya membuat hati seorang Lia gelisah seperti sekarang ini. Ia berjalan dengan tatapan kosong menuju gedung fakultasnya. Perempuan itu kembali memikirkan hal yang seharusnya tidak perlu ia pikirkan. Ini sudah beberapa minggu setelah terakhir kali dirinya dan Darpa makan mie instan di rumahnya bersama.

Mencintai Darpa rasanya begitu sulit saat hatinya masih menyimpan rasa sakit pada mantan suaminya itu. Seakan ada perisai yang masih menghalangi hatinya untuk tulus ke orang baru. Lia juga belum bisa yakin akan perasaan tulus Darpa yang ia terima.

Hatinya masih di selimuti awan hitam yang tak kunjung pergi. Rasa trauma masalalu masih terus berada di sana, bersamaan dengan penawarnya yang berusaha mengusir trauma itu. Namun, terlepas dari itu, Lia dibuat bingung dengan dua pilihan: membiarkan si trauma tetap berada di sana, atau mengizinkan si penawar untuk mengusir trauma itu.

Jari lentik Lia menyisir rambut kebelakang, ia frustasi akibat memikirkan hal yang tidak penting. Dadanya naik turun mencoba untuk menenangkan diri sebelum mempercepat langkahnya untuk sampai ke gedung fakultas.

Pada saat kelas berlangsung, Lia sekuat tenaga memfokuskan pikirannya pada pelajaran hari ini. Tapi tetap saja, Darpa dan Ozan selalu terlintas sesekali di pikirannya.

Malam nanti Lia akan pergi ke cafe tempat dirinya manggung. Ia hampir saja melupakan itu. Saat kelas selesai, ia langsung pulang kerumah. Tidak punya niat untuk bertemu Darpa atau bahkan sahabatnya, Salsa.

°~°~°~°~°

Aroma parfum jasmin telah memenuhi setiap sudut kamar bernuansa putih-abu. Lia terlihat sudah rapi, mengenakan pakaian yang sangat simple. Hanya celana jeans dan kaos turtleneck hitam. Agar penampilannya terlihat elegan, Lia menambahkan kalung dan anting dengan motif yang sama, yaitu Kupu-Kupu.

"Lia!!" suara seorang wanita terdengar memanggil namanya dari luar kamar.

"Iya, Ma!" Lia membalas teriakan itu masih dengan posisi menghadap kaca meja riasnya. Memastikan penampilannya malam ini sudah sempurna.

"Temanmu udah datang!"

Jari lentik yang sibuk menata rambut coklatnya yang tergerai, tiba-tiba saja mematung di puncuk kepalanya. Lia di buat bingung sekaligus mencoba untuk mengingat-ingat. Ia sangat yakin kalau dirinya sama sekali tidak ada janji pada siapapun. Lalu siapa yang datang kesini di saat dirinya akan pergi keluar.

Tanpa menjawab teriakan Mamanya tadi, Lia bergegas menyandang tasnya lalu berjalan keluar dari kamar. Dirinya penasaran siapa menusia yang di sebutkan 'teman' oleh Mamanya.

Kaki jenjangnya berjalan menuruni anak tangga satu persatu. Tapi, sorot matanya tidak melihat anak tangga sama sekali. Lebih tepatnya ia menatap seorang lelaki yang duduk berdua dengan mamanya di ruang tamu. Punggungnya terlihat tidak asing bagi Lia.

Suara kekehannya yang sesekali terdengar karena berbincang bersama Tari juga sangat familiar.

"Ah, itu dia!" Tari menoleh ke arah putrinya yang kini telah menginjak keramik lantai dasar.

Seorang lelaki yang tadinya duduk membelakanginya, seketika menoleh untuk menatapnya. Kening Lia yang tadinya mulus kini berkerut tajam. Matanya memutar malas karena kehadiran sosok lelaki yang selama satu harian penuh ini mengisi pikirannya.

"Ada apa kesini?" Lia bertanya tanpa basa-basi lantas melangkah menuju ruang tamu dan berdiri tepat di hadapan kedua insan itu tanpa ada niat untuk ikut bergabung atau duduk di sofa.

"Bukannya kau hari ini ada jadwal manggung, ya?" Darpa bertanya dengan suara yang jauh lebih lembut dari Lia sebelumnya.

Lia masih tetap berdiri di hadapan kedua insan itu. "Iya ada. Kenapa? Kau mau ikut nyanyi juga?"

ALLOW ME TO FLY [HIATUS]Where stories live. Discover now