4. Penasaran

20 4 0
                                    

Beberapa kali notifikasi serta panggilan tak terjawab masuk ke ponsel Lia. Dia tidak mendengarnya karena notifikasi itu di stel dengan nada getar. Lia baru mengetahuinya setelah selesai mandi.

Perempuan itu melangkah menuju nakas samping kasurnya. Meraih ponselnya, ternyata sudah ada 14 panggilan tak terjawab dan pesan spam dari sahabatnya, Salsa. Lia menjatuhkan bokongnya di bibir kasur. Ibu jarinya mulai mengetik berniat membalas pesan dari Salsa.

Di sisi lain, coffee shop yang terletak beberapa langkah dari gerbang kampus sedikit lebih ramai. Waktu sudah menunjukan pukul 4 sore. Dua lelaki dan satu gadis berambut pendek telah duduk di sana sejak tadi.

"Dia nggak datang." Salsa berkata kepada kedua lelaki di depannya.

Lelaki yang duduk tepat di hadapannya menghela nafas panjang. Minuman kopinya yang tinggal sedikit lagi. "Emang bener apa kata tiktok, menunggu itu nggak enak." Lelaki itu bernama Gilang, kekasihnya Salsa.

"Kenapa dia nggak datang?" Darpa bertanya.

Mereka bertiga sudah dari tadi menunggu kehadiran Lia. Tapi perempuan itu hingga saat ini tidak muncul juga.

"Kurang tau, katanya sih lagi nggak enak badan." Salsa menjawab masih mengotak-atik ponselnya.

"Sia-sia kita nunggu." Gilang masih mengeluh. Waktu bersantainya telah sirna. Padahal ia sudah membayangkan akan rebahan di rumah Darpa sembari membuat es teh manis dingin favoritnya.

"Oh!" Salsa tersentak kaget, wajahnya menampilkan akan berita bahagia. "Dia mau ketemuan besok. Pas saat kelas selesai."

Darpa tersenyum tipis nyaris tak terlihat. "Ok."

Tidak lama kemudian, mereka bertiga pamit pulang. Hari ini salah satu tuyul peliharaan Darpa bernama Gilang akan menginap di rumahnya lagi. Lelaki berambut cepak itu memang sering menginap di rumahnya. Bahkan, dia yang terlihat seperti sang pemilik rumah.

Baru juga melangkah kan kaki di ambang pintu, tuyul peliharaan Darpa sudah terjun bebas ke atas sofa rumahnya. Dia membuka sepatunya sembarangan, benar-benar menganggap rumah ini seperti rumahnya sendiri.

"Enak kali rebahan, yaAllah." Gilang mengucap syukur.

"Oh jelas, rumah siapa dulu. Bahkan pemiliknya sampe di anggap kayak pembantu." Darpa mengutip satu-persatu sepatu sahabatnya itu. Lalu meletakannya di atas rak sepatu yang telah tersedia di samping pintu.

"Ee.. nggak ya. Aku nggak pernah nganggap kau pembantu." Gilang mengubah posisinya menjadi duduk, "Tapi, lebih ke babu."

"Anj–" Darpa mengambil sebelah sepatunya siap untuk melempar kannya ke wajah Gilang. Tapi, sayangnya lelaki berambut cepak itu sudah berlari menuju dapur dengan tawakan mengejek.

Darpa sudah sangat terbiasa, bahkan sangat-sangat terbiasa dengan sikap serta ejekan sahabatnya. Dulu dia bertanya-tanya kenapa Salsa menyukai Gilang yang karakternya sebelas-dua belas persis seperti orang gila. Tapi, sekarang Darpa telah mengetahui jawabannya. Alasan yang masuk akal; Gilang adalah lelaki yang humoris, suka tertawa, dan melawak. Ada saja tingkahnya yang membuat orang menggelang-geleng. Tapi, hal itu jugalah yang membuat siapapun nyaman berada di dekatnya. Kadang juga akan merasa rindu jika sikap lelaki rambut cepak itu berubah.

Darpa menjatuhkan bokongnya di sofa tempat Gilang tadi rebahan. Entah kenapa tiba-tiba saja dia mengingat seorang gadis yang tidak sengaja menabraknya saat di coffee shop tadi. Wajahnya hanya ia lihat beberapa detik saja tapi mampu membuatnya teringat jelas hingga saat ini.

"Woi!" Gilang telah kembali dengan segelas es teh manis di tangannya. "Kenapa lagi kau, huh?" Dia duduk di tangan sofa. Sungguh, Gilang menganggap semua yang ada di rumah ini adalah miliknya. Dan Darpa sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu, walau sekarang posisi duduk sahabatnya jauh dari kata sopan.

ALLOW ME TO FLY [HIATUS]Where stories live. Discover now