8. Kabari

16 4 0
                                    

"Lia, boleh aku bertanya sesuatu?"

Lia tersentak kaget karena Darpa tiba-tiba saja bersuara. Perempuan itu berusaha semaksimal mungkin untuk terlihat biasa saja. "Iya, boleh."

"Hm.. ini agak privasi, tapi kalau kau nggak mau menjawabnya gapapa, kok." Darpa merasa sedikit tidak enak, tapi di sisilain dia sungguh penasaran. "Ayahmu kenapa nggak ada di foto-foto dinding?"

Saat itu juga senyum yang sempat terukir tipis kini luncur begitu saja. Tidak, Lia sama sekali tidak merasa terganggu dengan pertanyaan itu, hanya saja dia tidak pernah menyangka jika Darpa akan menanyakan hal itu padanya.

Melihat perubahan wajah Lia yang amat sangat cepat membuat Darpa merasa tidak nyaman. "Ah, Lia. Gausa di jawab. Maap, kayaknya aku terlalu kepo."

"Nggak, kok." Lia kembali memperlihatkan senyum tipisnya sebagai isyarat dirinya baik-baik saja untuk di beri pertanyaan seperti itu. Helahan nafas panjang meluncur dari bibir Lia sebelum dia menjawab. "Ayahku udah meninggal sejak aku umur 7 tahun. Sebenarnya sebelum ayah meninggal, Mama dan Ayah bercerai terlebih dahulu, dan setahun kemudian Ayah meninggal karena sakit. Aku juga kurang tahu dia sakit apa. Adik Ayah yang mengabari Mama waktu itu. Dan aku nggak terlalu ingat kejadiannya."

Atmosfer di ruang tamu terasa dingin. Darpa semakin merasa bersalah begitu mendengar jawaban menyedihkan dari Lia.

"Tapi itu udah berlalu kok. Sekarang mah udah santai." Lia mengulas senyuman lebar sesaat. Peka dengan tatapan kasian yang Darpa berikan. Perempuan itu tidak ingin di kasihani oleh siapapun.

Darpa tersenyum menatapnya, dan tiba-tiba suara dering ponsel berbunyi. Buru-buru Darpa merogoh kantung celananya untuk mengambil bendah pipih di sana. Ternyata yang menelpon adalah Gilang.

Belum sempat memberikan sapaan selayaknya orang menjawab telpon. Gilang sudah lebih dulu berkata. "Udah di depan."

Detik setelahnya panggilan itu di matikan sepihak oleh Gilang. Darpa menghela nafas pelan, sudah terbiasa dengan sikap sahabatnya itu. Dia berdiri berniat untuk berpamitan dengan Lia. Namun, baru saja ia menegakan tubuhnya, seorang wanita parubaya muncul dari balik pintu. Itu adalah Tari.

"Eh?" Matanya membelalak kaget dan bibirnya mengulas senyuman saat mendapatkan seorang lelaki yang beberapa hari yang lalu juga datang ke rumahnya. "Darpa, kan namanya?" Tari melangkah menghampiri.

Darpa mengangguk dan tersenyum menyambut kepulangan Ibu dari teman perempuannya. "Maap, Buk. Saya harus pulang, udah di jemput soalnya." Lelaki itu berkata dan segera menyalim kedua tangan wanita parubaya di hadapannya.

Lia bangkit berdiri berniat untuk melangkah menyusul Darpa.

"Buru-buru kali?" Tari bertanya sedikit kecewa karena lelaki itu akan pulang secepat ini. Padahal dirinyalah yang pulang telat.

"Udah di jemput, Buk." Darpa tersenyum hangat sembari melepaskan kedua tangannya dari Tari. Kemudian, melangkah menuju pintu.

Di susul oleh Lia dan Tari. Saat Darpa sedang memakai sepatu di tangga teras rumah, seorang lelaki berambut cepak melangkah masuk menghampiri mereka. Dia terlihat kagum dengan bangunan rumah megah bercat putih itu, hingga membuatnya tidak sadar kalau ada tiga manusia yang memperhatikan dirinya dari teras.

"Eh." Gilang tersentak kaget melihat tiga manusia kini sedang memperhatikannya.

Darpa menatap sahabatnya sembari memberi isyarat pada untuk segara menyalim wanita parubaya yang berdiri tepat di belakangnya.

Mengetahui isyarat dari tatapan mata yang Darpa berikan membuat Gilang buru-buru melangkah menghampiri wanita parubaya yang berdiri di teras rumah. "Assalamualaikum, Buk."

ALLOW ME TO FLY [HIATUS]Место, где живут истории. Откройте их для себя