6. Fate;

90 26 5
                                    

INTERLOCKED;

“Sudah ditampar oleh kenyataan, tapi masih saja memeluk erat sebuah harapan.”

Dinginnya cuaca menusuk permukaan kulit, hujan masih turun kepermukaan bumi hingga sore ini

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Dinginnya cuaca menusuk permukaan kulit, hujan masih turun kepermukaan bumi hingga sore ini. Di sebuah ruangan bernuansa putih, suasana mencekam dapat dirasakan. Seorang perempuan menunduk tak berani menatap wajah tegas lelaki paruh baya di hadapannya.

Hati perempuan itu terasa sakit, bagai ditusuk oleh benda tajam. Perkataan yang lelaki itu lontarkan berhasil melukai hati kecilnya, tangan kekar lelaki itu tak berhenti bergerak memukul tubuh kecil perempuan itu.

Rachel terduduk di sudut ruangan, mendengarkan semua makian yang keluar begitu saja dari mulut Papanya. Tubuhnya sakit akibat dipukul serta dilempar dengan berbagai macam barang, namun hatinya jauh lebih sakit mendengar perkataan yang seharusnya tak ia dengar.

Bagai ditikam namun tak kunjung mati, itu yang Rachel rasakan saat ini. Sepulang sekolah ia sudah berhadapan dengan Angga, ia tentu bingung mengapa Angga tiba-tiba memarahinya, ternyata Bu Lilis melaporkan hal itu pada Papanya.

Rachel tak mengikuti ulangan hari ini, berani keluar kawasan sekolah padahal masih jam pelajaran, serta tak mengikuti bimbingan olimpiade hari ini. Bu Lilis melaporkan hal itu semua pada Angga, membuat lelaki paruh baya itu marah setelah mengetahui kelakuan anaknya.

Angga kembali menarik tubuh Rachel untuk berdiri dihadapannya, namun Rachel tak kunjung bergerak dari tempatnya. Ia terlalu lemas serta pusing saat ini, tubuhnya masih basah kuyup akibat bermain hujan tadi, sudut bibirnya berdarah dan bekas memar akibat pukulan dari Angga membekas pada sekitar tubuhnya.

"Rachel, berdiri di hadapan saya sekarang!" perintahnya. Intonasi suaranya naik satu oktaf.

Rachel mendongak ke atas menatap wajah Angga. "Pa, maaf," lirihnya. Ia harap Angga kasihan dengan dirinya saat ini.

"Berdiri sialan!"

Tangan kekarnya menggenggam kuat leher mulus Rachel, membuat tubuh kecil perempuan itu terangkat, kakinya tak lagi menyentuh lantai.

"Pa, sakit. Rachel bisa mati kalau gini." Nafasnya tercekat, cekikan itu kian menguat, ia berusaha melepaskan tangan Angga yang terus mencekik lehernya.

"Mati aja sekalian, kalau bisa sekarang." Tak ada rasa kasihan dibenak lelaki tua itu saat melihat anak perempuannya kesakitan.

"Harusnya kamu memang mati, jika kamu mati bisa membuat mama mu kembali, hal itu akan saya lakukan sekarang," sarkas nya tajam.

Rachel diambang kesadarannya, untuk bernafas saja rasanya sulit. Angga melepas cekikan itu, tubuh Rachel meluruh begitu saja menyentuh permukaan lantai yang dingin.

Angga berjongkok di hadapannya, membisikkan sebuah kalimat yang terlalu sakit untuk didengar. "Kamu itu pembunuh."

Angga pergi meninggalkan ruangan begitu saja, menutup pintu sekuat-kuatnya. Tangis Rachel pecah, ia menggigit bibir bawahnya meredam suara tangisannya. Tangisan tanpa suara, namun air matanya tak henti meluruh membasahi kedua pipinya.

INTERLOCKED;Where stories live. Discover now