15. Wound;

72 7 0
                                    

INTERLOCKED;

"Ia terlihat tenang, hidupnya seperti tidak terjadi apa-apa. Namun, siapa sangka ia menyimpan luka sedalam samudra di balik ketenangan itu."

Keringat masih meluruh membasahi pelipis, degup jantung masih terasa dua kali lebih cepat dari biasanya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Keringat masih meluruh membasahi pelipis, degup jantung masih terasa dua kali lebih cepat dari biasanya. Final telah usai, namun pemenang akan diumumkan beberapa hari lagi.

Rachel bersandar pada tembok di pojok paling sepi gedung ini, ia menghirup rakus udara seakan tak ada waktu lain. Detak jantungnya tak secepat saat ia mengerjakan soal-soal di dalam sana, namun lututnya terasa melemas tak bisa menopang berat tubuhnya.

Rachel menghela nafas panjang. "Jenguk Bian nggak sih?" tanyanya pada diri sendiri setelah detak jantungnya kembali normal.

Rachel mengeluarkan ponselnya, mencari nomor Bu Lilis untuk segera ia hubungi. Ia ingin berpamitan, sebab Bu Lilis tampak sibuk dengan guru-guru dari sekolah lain. Setelah di perbolehkan oleh Bu Lilis, Rachel kembali menyimpan ponselnya ke dalam tas ransel yang ia sandang.

Langkah santainya membawa dirinya keluar dari gedung besar ini, hingga kakinya menapak di jalan raya. Ia berhenti di sebuah halte bus, menunggu sebuah bus yang akan mengantarkannya ke rumah sakit.

Di dalam bus, Rachel duduk di sebelah jendela sambil memangku sebuah keranjang buah. Di sebelahnya ada seorang perempuan paruh baya bersama sang buah hati di dalam gendongan hangat sang ibu. Membuat Rachel merindukan sosok hangat malaikat tak bersayap nya yang tak dapat lagi ia lihat sosoknya.

"Kamu kelas berapa, kak?" Suara lembut dari seorang ibu disebelahnya dengan sopan membelai halus daun telinganya.

Rachel tersenyum lebar menyapa. "Saya kelas 11 buk," ucap Rachel dengan ramah.

Ibu itu menepuk pundak Rachel singkat sebelum ia kembali berucap. "Berarti sebentar lagi naik ke kelas 12?" Rachel mengangguk kecil.

"Sudah ada rencana mau masuk universitas mana, nggak nanti?"

Rachel berfikir sejenak lalu menggeleng singkat. "Belum punya rencana, Bu. Biasanya papa yang ngurus dimana saya bakalan lanjutin pendidikan."

"Lho, itu pilihan kamu, sayang. Orang tua tak berhak mencampuri, tapi orang tua harus mendukung dan memberikan biaya yang cukup. Jangan biarkan mimpi kamu disetir oleh orang lain, sekalipun orang tua. Karena kamu punya hak atas pendidikan yang kamu tempuh, dan orang tua punya kewajiban untuk membiayainya anaknya," tutur ibu itu sambil tersenyum.

Bayi di gendongannya tertidur damai tak mengusik pembicaraan keduanya.

Rachel hanya diam meresapi, hingga tepukan halus dipundaknya kembali menyentak ia dari lamunan.

"Tampaknya kamu tidak pernah dibiarkan berpendapat sama orang tua, ya?" Rachel menatap kaget ke arah ibu-ibu di sebelahnya.

"Jangan kaget begitu, ibu hanya menebak. Sepertinya benar, ya?" Ibu itu menggenggam erat telapak tangan Rachel.

INTERLOCKED;Where stories live. Discover now