14. Expression;

96 10 0
                                    

INTERLOCKED;

Dia tidak bersuara, namun berisik luar biasa. Apa lagi jika bukan isi kepala.”

Derap langkah kaki terdengar bersahutan mengisi keheningan, rumah besar nan megah itu benar-benar mempesona, namun tidak ada kehangatan yang terselip di setiap sudut rumah

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Derap langkah kaki terdengar bersahutan mengisi keheningan, rumah besar nan megah itu benar-benar mempesona, namun tidak ada kehangatan yang terselip di setiap sudut rumah. Penghuni rumah besar itu bukan hanya satu, ada empat anggota keluarga, namun rasanya sangat sunyi.

Hening, sudah menjadi teman sehari-hari bagi Rachel. Ia lebih memilih keadaan rumahnya hening dan sepi daripada harus mendengarkan gelak tawa bahagia yang menusuk rungunya. Ia benci ketika melihat Nadya tertawa lepas bersama keluarganya sedangkan ia dicampakkan dan tenggelam di dasar paling dalam tak bersuara.

Rachel berjalan pelan menuju pintu utama rumahnya. Ia baru saja pulang sekolah dan sekarang hendak menjenguk kedua temannya. Mungkin ia akan mengunjungi Bian terlebih dahulu, setelahnya barulah ia mengunjungi Zyan, sang mataharinya.

"Mau kemana?" Suara itu menghentikan langkah kaki Rachel, ia segera berbalik hendak melihat siapa yang memanggilnya.

Nadya, perempuan yang beberapa hari lalu sempat bertengkar hebat dengan dirinya. Rachel memutar bola mata malas, keduanya tangannya ia lipat di depan dada.

"Kenapa?" Nada bicara Rachel tak kalah ketus dari Nadya. "Lagian ini bukan urusan lo, hobi banget urusin hidup orang."

"Siapa yang ngurusin lo? Gue?" Nadya terkekeh kecil di tempatnya, ia melangkah maju memegang kedua pundak Rachel. Nadya tersenyum remeh, mengusap pelan surai Rachel. "Papa aja nggak pernah ngurusin lo, terus ngapain gue ngurusin hidup lo yang jelas-jelas nggak ada sangkut-pautnya dengan kehidupan gue."

"Setidaknya izin dulu, gue nggak mau ngeliat lo dipukulin papa lagi. Menyedihkan banget kalau diingat-ingat, kasian gue ngeliatnya. Izin ke gue cukup, kok." Suaranya terdengar lembut, namun tersirat nada menusuk hati disetiap untaian kalimat yang keluar dari mulut liciknya.

Rachel tersenyum miring sembari mengangguk kecil, ia menepis tangan Nadya yang mencengkram erat bahunya. "Kenapa gue harus izin sama lo? Memang lo sepenting apa dirumah ini?"

"Wah ... Jelas penting dong. Seharusnya gue yang nanya gitu sama lo, memangnya lo sepenting apa dikehidupan papa?" Sudut bibir Nadya membentuk senyuman remeh, sudah ia tebak Rachel akan terdiam seribu bahasa jika seperti ini.

Rachel kalah telak, mulutnya terasa dikunci. Ia tak bisa menjawab jika pertanyaannya seperti ini, ia bahkan tak tau apakah dirinya penting dikehidupan papanya.

"Lo itu cuma anak yang lahir dari sebuah kesalahan, nggak lebih. Wajar papa nggak suka sama lo."

Rachel menatap tak suka ke arah Nadya, wajahnya merah padam seperti sedang menahan amarah. Satu tamparan ia layangkan begitu saja, kuat, hingga membuat Nadya memegangi pipi kanannya yang merah akibat Rachel tampar.

INTERLOCKED;Where stories live. Discover now