16. Semicolon;

62 6 10
                                    

INTERLOCKED;

"Hidup tanpa Ibu itu berantakan, dan hidup tanpa seorang Ayah tak tahu arah. Aku tak memiliki peran keduanya, lalu aku kehilangan arah, tak menemukan jalan pulang yang sudah hancur berantakan."

Suasana mencekam di rumah bernuansa abu-abu ini jauh lebih terasa dingin dan menusuk daripada tiupan angin di luar sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suasana mencekam di rumah bernuansa abu-abu ini jauh lebih terasa dingin dan menusuk daripada tiupan angin di luar sana. Lelaki paruh baya dengan pahatan wajah tegas dan menyeramkan menatap tajam kedua putranya.

Sang kakak menatap sang ayah tak kalah tajam tanpa sedikitpun rasa takut, sedangkan sang adik hanya menunduk menatap lantai dimana sepatu hitamnya menapak.

"Masih berani menginjakkan kaki di rumah ini? Kamu tidak memiliki rasa malu sedikit pun?" Suara berat sang ayah menepis keheningan.

"Ayah ... kita bisa bicarakan ini baik-baik. Apa salah Juan?" Harsa memberi pembelaan untuk sang adik yang hanya terdiam di tempatnya.

"Saya tidak berbicara sama kamu, Harsa," sentak sang ayah yang membuat Harsa mengembuskan nafas gusar.

"Dasar anak tak tau diri, saya sudah susah payah membesarkan dan membiayai kamu, dan balasan seperti ini yang saya dapatkan?" cerca sang ayah yang hanya dihadiahi keheningan.

"Kamu benar-benar berbeda dengan Harsa, abang mu itu bisa memenuhi ekspektasi saya. Sedangkan kamu? Sudahlah tuli, pembangkang pula." Ayah menunjuk-nunjuk jidat mulus Juan yang tertutup beberapa helai rambut, sesekali ayah mendorongnya secara kuat.

Ayah dengan mudahnya mengeluarkan kata-kata yang berhasil menusuk jauh ke relung hati anak bungsunya. Caci maki serta umpatan keluar begitu saja tanpa memikirkan kondisi sang bungsu.

Telinga Juan rasanya panas, hatinya tak sanggup lagi untuk mendengar untaian kalimat kebencian yang keluar dari mulut ayahnya. Ia memejamkan matanya, menarik nafas dalam meredam semua emosinya lalu ia hembuskan secara perlahan.

Akhirnya Juan mengangkat kepalanya, menatap hangat wajah ayah yang sudah merah padam. "Ayah yang nyuruh abang mencari saya, dan membawa saya pulang. Sekarang saya sudah pulang, kenapa saya masih dimarahi?"

Intonasi suara Juan lembut membelai telinga, suara itu setenang lautan namun di setiap untaian kata-katanya tersirat rasa sakit yang begitu dalam.

Ayah menepuk pundak si bungsu, hingga tangan kekarnya tak segan-segan mencengkeram erat bahu lebar Juan.

"Jadi kamu menyalahkan, saya? Bukankah semua yang terjadi di rumah ini kesalahan ka—"

Juan lebih dulu memotong ucapan sang ayah, lalu menepis cengkraman yang berada pada bahunya. "Iya, saya tau kalau saya selalu salah dimata ayah. Saya tidak berbuat apapun tetap dituduh melakukan kesalahan, ungkit saja semuanya ayah," dengusnya.

"Baguslah jika kamu menyadari, karena kamu juga penyebab keluarga di rumah ini menjadi hancur," sentak sang ayah yang membuat Harsa kembali tersulut emosi mendengar ucapan ayahnya.

INTERLOCKED;Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang