Part 3; Fucked

1K 100 13
                                    

"B-bel….” Adalah kalimat yang keluar hampir tanpa suara ketika perempuan yang dia duga terlihat tidak baik-baik saja ternyata adalah perempuan yang selama ini dia rindukan, perempuan yang ingin dia cari tahu keberadaannya, perempuan yang tidak pernah sedetik pun hilang dari hatinya.

Belvin.

Gavin menemukannya.

Di pojok lift. Dalam kondisi terlihat tidak baik-baik saja. Dengan napas yang terdengar putus-putus dan tubuh gemetar sampai harus berpegangan erat pada handrail agar tidak ambruk.

Ketika kesadaran itu kembali menghantam Gavin telak, dia dengan cepat mengenyahkan segala jenis perasaan campur aduknya. Spontan ingin membantu Belvin yang hendak berjalan keluar dengan kakinya yang gemetar itu.

Hanya untuk mendapati Belvin yang langsung menepis tangannya di detik pertama kulit mereka bersentuhan.

Gavin tertegun.

“Bel…” Gavin memanggil pelan. Rasanya masih kaku ketika bisa kembali memanggil nama itu di depan pemiliknya langsung setelah bertahun-tahun lamanya.

Gavin hendak kembali meraih tangan itu. Namun lagi-lagi tangan Belvin yang gemetar menepisnya kasar. Dengan masih tidak menatapnya sama sekali.

Mereka sudah keluar dari lift. Gavin menatap nanar Belvin dari belakang. Menatap perempuan itu yang berjalan dengan susah payah karena kakinya tidak bisa berpijak dengan benar. Juga suara napasnya yang terdengar jelas tidak beraturan.

Apa yang terjadi kepada Belvin sebenarnya?

Let me help you, Bel.” Gavin meraih hati-hati lengan Belvin dari belakang yang lagi-lagi perempuan itu tolak dengan menarik tangannya kencang.

Tarikan itu membuat Belvin goyah dan hampir ambruk jika Gavin tidak dengan cepat menahan lengan dan pinggangnya.

Gavin merasakan tubuh Belvin menegang untuk sesaat sebelum perempuan itu mendorongnya dan menarik tubuhnya lepas dan sebelum Gavin sempat menahannya lagi Belvin sudah lebih dulu ambruk.

Gavin terkesiap. Dia berjongkok di hadapan sang perempuan yang terduduk dengan kepala menunduk dalam. Gavin tidak bisa melihat wajahnya karena topi yang masih dipakainya.

Dalam jarak sedekat ini tarikan napas Belvin yang masih berantakan terdengar jelas.

Sungguh Gavin khawatir. Dia tidak mengharapkan menemukan Belvin dalam situasi yang mengkhawatirkan seperti ini. Karena itu artinya doanya tidak terkabul. Permintaannya yang menginginkan kebahagiaan selalu menemani Belvin di setiap detik napas perempuan itu tidak terwujud.

Gavin menarik napas berat. Jantungnya berdebar cepat. Sorot matanya menyiratkan banyak hal. Rindu, sedih, khawatir, semuanya campur aduk menjadi satu.

Dengan ragu-ragu Gavin melepaskan topi Belvin. Napasnya spontan tertahan. Menemukan wajah Belvin yang banjir oleh keringat. Tengkuk juga lehernya pun sama-sama basah oleh peluh.

Mata mereka belum bertemu karena sekarang pun Belvin tengah memejamkan matanya erat. Terlihat sedang berusaha mengatur pernapasannya.

Kekhawatiran Gavin semakin menjadi. Pertanyaan-pertanyaan seputar apa yang sebenarnya terjadi kepada Belvin kian mencekoki kepalanya.

Hatinya terasa diremas begitu sakit melihat kondisi Belvin yang seperti ini. Tanpa sadar bola mata Gavin sudah memanas. Menahan desakan air matanya tidak tumpah.

Apa selama dia tidak ada Belvin juga sebenarnya dalam kondisi yang tidak baik-baik saja seperti sekarang ini?

Ketika pemikiran itu menghampirinya, sesak itu semakin memenuhi dadanya.

Dimana Ujungnya?Where stories live. Discover now