Part 12; Come In

653 67 5
                                    

Belvin berjalan menuju pantri setelah membersihkan wajah dan menggosok gigi. Pusing di kepala akibat mabuk semalam sangat mengganggunya.

Di pantri, dia melihat Gavin—entah sedang apa—tidak peduli—tampak fresh dengan tampilannya yang mengenakan kemeja hitam dan celana bahan berwarna serupa. 

Belvin tidak ingin meneliti lebih jauh lagi. Menuangkan air ke dalam gelas, mengabaikan kehadiran Gavin sepenuhnya. Air dalam gelas itu dia tenggak bersamaan dengan mangkuk berisi sup yang masih menguarkan uap hangat disimpan di depannya.

“Buat pengar kamu,” ucap Gavin seadanya.

Belvin menatap sup itu tanpa ekspresi.

“Aku--”

Prang!

Kalimat Gavin terhenti, menoleh melihat mangkuk itu pecah, membuat supnya tumpah mengotori lantai.

Gavin lupa. Seharusnya dia tidak memakai mangkuk yang mudah pecah seperti itu. 

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Gavin jongkok untuk membersihkan pecahan beling itu. Di detik selanjutnya, bola matanya sontak terbuka lebar kala ujung matanya melihat Belvin sengaja menginjak pecahan beling itu.

“What the hell are you doing?!” serunya panik. Saking paniknya ingin cepat menyingkirkan Belvin dari sana, kakinya pun tanpa sengaja ikut menginjak pecahan-pecahan kecilnya. 

Gavin menahan ringis. Mengabaikan sakitnya yang tidak seberapa dibanding kepanikannya, menarik Belvin menjauh dari pecahan-pecahan beling.

Dia kembali jongkok untuk melihat telapak kaki Belvin. Napasnya terembus berat melihat darah mengalir dari sana. Menahan diri untuk tidak mengomel. 

Ketika hendak menggendong perempuan itu ke kamar mandi untuk membersihkan lukanya terlebih dahulu dengan air mengalir, Belvin mendadak menepisnya kasar dan menjauh.

Namun, mulut perempuan itu masih bungkam. Tatapnya masih sedingin kutub es. 

Mulut Gavin pun bungkam. Menatap Belvin yang raut wajahnya masih begitu tidak bersahabat.

“Bersihin dulu lukanya, Bel.” Setelah hanya saling menatap dalam hening, Gavin mulai membujuk dalam nada bicara yang begitu sabar.

Belvin masih membisu tanpa ekspresi. Namun, ketika Gavin menggapai tangannya, dia dengan cepat menghempaskannya.

Tatap mereka kembali beradu dalam hening. 

Gavin menatap Belvin masih dengan penuh cinta dan kehangatan. Meskipun tampak frustrasi juga di saat bersamaan. Frustrasi karena tindakan Belvin selalu membuatnya khawatir.

“Kamu boleh terus marah-marah sama aku, pukul aku, maki-maki aku, tapi aku mohon tolong stop melukai diri kamu sendiri kayak gitu, Bel.”

Belvin masih bergeming.

“Obatin dulu ya lukanya.” 

Lagi-lagi tangan Gavin yang ingin menggapainya itu kembali dihempaskan.

“Bel, please....”

“Memohon buat apa?” respons pertama yang diberikan Belvin. “Kalau capek, lo bisa pergi. Gue akan dengan senang hati mengantarkannya.”

Gavin tahu Belvin bersikap rude, rebel, annoying, melakukan tindakan-tindakan yang terkesan gila, semata-mata ingin membuatnya menyerah.

Menyerah berada di sampingnya. Menyerah memperjuangkan cinta mereka kembali bersemi. Menyerah untuk segalanya.

Sayangnya, Gavin tidak mungkin mengabulkan harapan Belvin itu. Tidak akan. 

Dia sudah pernah mengingkari janji-janjinya. Sekarang dia tidak akan mengulang kesalahan yang sama.

Dimana Ujungnya?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang