what if: friends with benefits

631 36 0
                                    

Haloooo!!

Yang rindu Gavin versi brengsek (haha) aku bawa what if yang bisa diakses di Karyakarsa. Bagi yang mau baca bisa klik link yang ada di profil akunku ini yaa!!

 Bagi yang mau baca bisa klik link yang ada di profil akunku ini yaa!!

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Ini aku kasih preview-nya:

“Mau ke mana?”

Mata Gavin belum terbuka sepenuhnya. Masih menyesuaikan cahaya yang masuk. Menumpu setengah tubuhnya dengan siku, sebelum bangkit sepenuhnya sembari mengucek-ngucek matanya.

Yang ditanya melihatnya dari pantulan cermin. “Ada janji.”

“Sama siapa?” Gavin melirik jam. Menunjukkan pukul tiga sore. 

Tidak heran dia bangun sesore ini. Setelah pulang hampir dini hari dari pekerjaannya di luar kota, lalu dilanjut menghabiskan pagi yang cukup panjang dan melelahkan dengan perempuan yang sedang bersolek di depan cermin.

Tidak ada jawaban dari perempuan itu.

“Sekarang kamu mau pergi ninggalin aku? Padahal aku udah bela-belain pulang demi kamu.”

“Emangnya lo nggak bakal pulang?”

“Ya bakal--”

“Ya terus?”

“Aku nggak bakal pulang dulu kalau tahu weekend gini kamu mau pergi.”

“Ya udah sana. Pergi lagi.”

Gavin berdecak. “Emang ada janji sama siapa sih? Mau pergi ke mana?”

“Kepo.”

“Aku perlu tahu. Kalau nanti ada apa-apa sama kamu gimana?”

“Ya nggak gimana-gimana.”

“Bel, ah.”

Belvin selesai dengan urusannya merias wajah. Kontras dengan tubuhnya yang masih dibalut bathrobe. Dia memutar badan menghadap Gavin yang masih duduk di kasur dengan dada telanjang.

“Lo juga keluar lah. Kayak nggak punya temen aja.”

“Capek. Mending di sini kelonan sama kamu.”

Belvin menyipit, lalu mendengus. “Udah lah. Nggak usah rewel.” Dia berdiri. “Lagian besok juga gue pulang.”

“Besok?” Bola mata Gavin membeliak. Turun dari ranjang dengan cepat. “Kamu mau ke mana, Bel?” tanyanya sewot. Ingin jawaban. 

Belvin berbalik dan spontan mengernyit. “Bisa pake celana dulu nggak?” 

Gavin mengambil celananya yang tergeletak di lantai, memakainya dengan cepat sembari berjalan mendekati Belvin yang berdiri di hadapan lemari besar yang terbuka.

“Aku ikut.”

Belvin yang sedang memilih pakaian menolehkan kepala ke arah pria di sampingnya. “Gue mau menghadiri undangan, okay.” Kembali memilah pakaian yang akan dia kenakan sekarang.

“Nah, apalagi itu. Aku bisa jadi partner kamu.”

Belvin kembali menoleh lagi. “Masalahnya gue yang jadi partner orang lain.” 

“Siapa?”

Ada jeda yang sebelum Belvin menjawab, “Tara.” Mengalihkan pandangan, ke arah pakaian yang berjejer menggantung di dalam lemari. Tidak melihat ekspresi Gavin yang langsung terdiam.

“Lo masih inget Tara, kan? Besok kakaknya mau nikah di Bali. Gue diundang--”

“Sejak kapan kamu berhubungan lagi sama Tara?” sela Gavin, nada bicaranya terdengar dingin juga kecewa di saat bersamaan.

Belvin mengambil pakaian yang akan dikenakannya. “Sebulan yang lalu,” jawabnya. Berlalu meninggalkan Gavin yang bergeming di tempat.

“Kok nggak bilang?” 

Menghentikan langkah, Belvin menoleh, tatapannya yang datar bertemu dengan binar kekecewaan di mata Gavin. “Buat apa?”

Gavin tidak langsung merespons.

Sesaat, waktu terasa berhenti. Mereka hanya saling menatap dengan isi kepala masing-masing yang tidak pernah bisa dipahami oleh satu sama lain. 

Lebih tepatnya Gavin yang tidak pernah mengerti bagaimana kepala Belvin bekerja. Sementara dia begitu transparan menunjukkan berbagai jenis emosi, perasaan dan pikirannya kepada perempuan itu.

“Kamu deket lagi sama dia?” setelah hening yang terasa mencekam menyerang, Gavin memecah kebekuan waktu di antara mereka. Bertanya lugas. Butuh jawaban.

Yang ditanya hanya menatapnya beberapa detik sebelum melengos begitu saja masuk ke dalam kamar mandi.

Gavin membuang wajah. Menyeringai miris pada dirinya sendiri.

[]

Dimana Ujungnya?Where stories live. Discover now