Part 7; Always Be Yours

773 98 11
                                    


Gavin terbangun dengan hati yang hampa seperti sebelum-sebelumnya.

Mimpi itu datang lagi. Meninggalkan perasaan bersalah yang kian menyesaki dadanya.

Ada waktu yang Gavin habiskan hanya untuk berdiam diri, kembali merenung karena mimpi yang kembali datang seperti menghantuinya. 

Tarikan napasnya memberat. Mengusap wajahnya kasar dan mulai beranjak dari kasur. 

Gavin menatap pantulan dirinya di cermin. Rambutnya yang gondrong menjadi kian gondrong. Bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar bibir dan rahangnya belum dia cukur. 

Belum ada yang ingin Gavin lakukan. Dia hanya makan, menonton, tidur dan sesekali menggambar. Menggambar apa yang terlintas dalam isi kepalanya yang kusut.

Delapan tahun yang lalu, Gavin pernah berada dalam posisi seperti ini. Bedanya waktu itu lebih parah. Dan tentu lebih kacau dibanding yang kembali dialaminya sekarang.

Hidupnya berjalan seperti mimpi buruk. Mimpi buruk di mana dia merasa tidak akan pernah bisa bangun lagi selamanya.

Kecemasan, ketakutan, kegelisahan hingga kenangan buruknya yang sempat hilang ketika bersama Belvin saat itu kembali muncul ke permukaan. Berlomba-lomba memenuhi isi kepalanya sampai tidak ada lagi ruang kosong untuknya berpikir jernih.

Sakit yang hadir, sesak yang hadir dan sepi yang hadir, seakan-akan ingin membunuhnya.

Kemudian Gavin sadar, dia tidak boleh terus seperti itu. Akan menjadi hal sia-sia dia meninggalkan Belvin tapi tidak ada perubahan apa pun dalam hidupnya dan malah berakhir semakin berantakan.

Dia ingin sembuh. Untuk dirinya. Untuk Belvin.

Empat tahun Gavin harus berhadapan dengan psikolog yang menjadi tempat semua masalahnya tertumpahkan. Empat tahun Gavin hidup di mana kesehatan mentalnya benar-benar kacau.

Dia berjuang untuk sembuh. Sekeras yang bisa dia lakukan. Dia ingin sembuh. Agar bisa kembali. Bisa kembali kepada pemilik hatinya. Kembali kepada Belvin.

"Kak?" Gavin langsung menyapa begitu panggilan video dengan kakaknya tersambung.

"Are you okay?"

Gavin diam ditanya begitu. 

Dan Geovan paham. Ada sesuatu yang ingin adiknya itu bicarakan. Dia menunggu, memberikan waktu Gavin bercerita.

"... Do I still deserve Belvin's love again?"

"...."

"Belakangan ini isi kepala gue penuh banget, Kak. Gue bertanya-tanya... apa gue boleh menginginkan cinta Belvin lagi." Jeda. Gavin menjeda ucapannya. Raut wajahnya sudah menggambarkan betapa dia sedang kebingungan sekarang. Gelisah. Sedih. Bingung dengan langkah apa yang harus dia ambil selanjutnya. "... gue mau, Kak. Gue mau." Suaranya terdengar mengambang, ragu, "gue mau memperjuangkan Belvin lagi. Sangat mau bersama dia lagi. Tapi di sisi lain... i'm afraid, Kak. Gue takut. Takut banget."

Hembusan napasnya memberat.

"Gue merasa udah nggak pantes buat dia. Gue takut meninggalkan luka lagi buat dia. Gue merasa... gue merasa... belum cukup baik buat kembali sama dia. Tapi gue juga yakin, Kak, gue yakin... setelah ini gue nggak mungkin melepaskan Belvin lagi. Gue takut... tapi yang gue mau cuma dia, Kak."  Suara Gavin terdengar seperti orang linglung.

"Mau mulai bicara lagi sama Mrs. Jane?" Respons pertama yang diberikan Geovan.

Gavin menggeleng sekali. Menggeleng lagi. Yakin tidak mau. Namun gelengan selanjutnya, dia meragu. 

Dimana Ujungnya?Where stories live. Discover now