Part 11; Pengawal

458 65 9
                                    

6 bulan kemudian....

“Mau turun nggak, Bel?”

“Duluan.” Belvin mengangkat gelas di tangannya, mengisyaratkan sekarang dia hanya ingin minum. Minuman alkohol dalam gelas di tangannya pun dia tenggak, bersamaan temannya itu berbisik tepat di telinganya. “Ada laki-laki yang dari tadi liatin lo. Siap-siap disamperin,” katanya cekikikan sebelum perempuan itu berbaur bersama yang lainnya di dance floor.

Belvin mengangkat sudut bibir tipis. Tanpa diberitahu pun dia tahu ada laki-laki yang sejak tadi—selalu—memperhatikannya. Namun, entah lelaki mana yang temannya itu maksud.

“Hai? Gue boleh duduk di sini?” Oh ternyata laki-laki ini. Ya, Belvin tahu. Laki-laki yang baru mengambil tempat duduk di sampingnya memang sejak tadi terang-terangan memperhatikannya.

Belvin memberi izin lewat senyumnya—meskipun laki-laki itu memang sudah duduk sebelum diizinkan—sembari sudut matanya melirik lelaki yang berada di sofa lain tampak lebih awas memperhatikannya di antara riuhnya orang-orang di sekitar mereka.

“Gue Marvel,” laki-laki itu memperkenalkan diri.

Belvin menyimpan gelasnya di atas meja, menjabat tangan laki-laki itu. “Cindy.” Senyumnya terulas tipis.

“Kenapa nggak turun?” Marvel menunjuk dance floor di depan sana menggunakan dagunya. Volume suaranya dinaikkan karena musik yang diputar terdengar semakin keras.

Belvin menggeleng. “Nggak bisa nari,” celetuknya sekenanya. Ikut menaikkan volume suaranya sedikit lebih keras. “Lo sendiri kenapa nggak turun?” 

Marvel menatap Belvin sesaat, kemudian tersenyum tipis. “Dance floor nggak cocok buat gue,” jawabnya. “Sebenarnya gue juga nggak nyaman dengan suasana bising kayak gini.”

Belvin mengangkat sudut bibir tipis. “Terus kenapa bisa berakhir di sini?”

“Diseret cecunguk-cecunguk itu tuh,” Marvel menunjuk ke arah lantai dansa, menunjuk cecunguk-cecunguk yang dimaksud. 

Dan Belvin tidak tahu dari sekumpulan orang itu mana cecunguk yang dimaksud Marvel. Tidak peduli juga.

“Mereka bilang sekali-kali gue harus nyoba ke tempat kayak gini. Katanya seru. Sayangnya gue nggak nemu letak serunya dimana—awalnya....” Kalimat Marvel terdengar menggantung, matanya melihat Belvin penuh makna.

Belvin pura-pura tidak tahu. Padahal dia jelas paham arti dari tatapan itu. Apalagi laki-laki itu kentara sekali diam-diam duduknya bergeser semakin mendekat.

“Tempat yang menurut lo seru emangnya di mana?” Belvin menuangkan alkoholnya ke gelas selokinya lagi.

“Yang tempatnya sepi.”

Sudut mata Belvin melirik Marvel, menyunggingkan sudut bibir tipis, sebelum menenggak minumannya.

“Gue juga suka tempat yang sepi,” balas Belvin meladeni.

“Udah gue duga. Lo emang kelihatan nggak nyaman ada di sini. Kita sama ternyata.”

Belvin hanya tersenyum tipis saja mendengar kesimpulan yang dibuat laki-laki itu.

“Mau nyari tempat baru supaya bisa ngobrol lebih nyaman lagi?” Marvel sedikit mendekatkan kepalanya ke telinga Belvin, mungkin supaya tawarannya dapat terdengar jelas oleh perempuan itu.

Belvin menatap laki-laki itu sesaat. “Di mana?” tanyanya sembari menumpangkan satu kakinya ke kaki yang lain membuat dress-nya lebih terangkat sehingga pahanya terekspos lebih banyak.

Di saat yang sama, mata laki-laki itu jatuh menatap pahanya, membuat sudut bibir Belvin terangkat tipis. Memang sudah dia duga. Sudut mata Belvin melirik laki-laki di sofa itu.

Dimana Ujungnya?Where stories live. Discover now