Part 10; I'm Mess

600 59 3
                                    

Belvin menerawang. Menatap jauh ke luar sana. Lewat  jendela-jendela lebar yang berada di sampingnya.

Satu bulan berlalu pasca kejadian itu, Belvin kembali menemui psikolog yang sempat menanganinya dulu. 

Pada akhirnya, dia kembali seperti itu. Kembali menjadi manusia sakit. Kembali menjadi manusia yang tidak normal.

Belvin menganggap dirinya tidak normal. Dia hanyalah seonggok manusia yang tidak bisa memahami makna dari hidup. Yang tidak bisa melepaskan masa lalu. Yang tidak bisa menerima takdir yang sudah digariskan untuknya. Yang tidak bisa melihat... masih ada orang yang peduli kepadanya.

Sayangnya Belvin sudah menjadi manusia yang tidak bisa lagi percaya pada manusia lainnya. Belvin sudah menjadi manusia yang percaya pada akhirnya tidak benar-benar ada yang tulus kepadanya. Pada akhirnya dia akan ditinggalkan lagi—untuk kesekiankalinya.

Belvin masih menjadi manusia... yang menganggap hanya dirinyalah yang paling menderita di dunia ini.

Belvin pikir dia sangat ingin mati. Sampai kemudian kejadian itu membuat dia tersadar... ternyata dia belum seingin itu untuk mati. Dia belum seberani itu untuk mengakhirinya hidupnya sendiri.

Masih lekat di ingatan bagaimana tubuhnya menegang kaku. Melihat kendaraan-kendaraan itu seakan-akan berlomba-lomba ingin menghantam tubuhnya yang tidak bisa digerakkan.

Saat itu dia terdiam, bukan karena menunggu kematiannya. Melainkan terdiam... karena dia begitu ketakutan.

Bodohnya. Impulsifnya.

Seandainya dia telat diselamatkan mungkin sekarang Belvin akan menjadi arwah gentayangan yang menyesal karena mengambil keputusan secepat itu.

Pada dasarnya Belvin mungkin bukan ingin mati. Melainkan ingin menghilangkan semua rasa sakit yang masih menggerogotinya sampai sekarang.

Rasa sakit yang mungkin sebenarnya dia mengetahui penawarnya. Hanya saja Belvin masih betah menenggelamkan dirinya dalam keterpurukan. Betah karena dia pernah trauma hidup dalam kesenangan.

Belvin pernah mencoba keluar dari keterpurukan. Pernah mencoba bersenang-senang. Pernah mencoba merasakan kebahagiaan. Pernah begitu yakin hidupnya bisa berubah menjadi baik-baik saja.

Sampai akhirnya dia terlena. Sampai akhirnya kesenangan itu juga lah yang menenggelamkannya ke dalam kesedihan tanpa ujung. 

Belvin tidak ingin lagi mencoba hidup senang. Karena ternyata rasanya lebih menyakitkan ketika kesenangan direnggut darinya.

Belvin lebih senang hidup seperti ini. Hidup tanpa tahu arti kesenangan. Hidup tanpa mempunyai seseorang yang dia anggap berharga.

Logikanya, dia tidak akan terpuruk lagi jika selama ini sudah bersahabat dengan keterpurukan itu sendiri. Tidak takut kehilangan orang yang dia anggap berharga jika pada dasarnya dia memang tidak mempunyai orang berharga itu sendiri.

Sayangnya, Belvin masih menjadi manusia biasa. Masih menjadi manusia yang memiliki rasa. Masih menjadi manusia yang bisa merasakan sepi dan hampa.

Pada satu titik itu, Belvin benci menjadi manusia.

Seandainya ada teknologi mutakhir yang bisa membuat manusia tidak merasakan apa pun lagi, Belvin ingin mencobanya.

Hampa itu akhir-akhir ini sering sekali menghampirinya. Frustrasi. Dorongan kuat untuk kembali mengakhiri hidupnya kerap kali datang lagi.

Untungnya, Belvin masih bisa berpikir lebih waras dengan mengingat kejadian itu saja bisa membuat jantungnya kembali berdetak lebih cepat karena ketakutan.

Dimana Ujungnya?Where stories live. Discover now