• 8. Menjadi Orang Lain •

138 14 0
                                    

Maaf telat banget up-nya

Happy reading ya😔🙏🏻

Happy reading ya😔🙏🏻

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.










Siang ini kantin begitu ramai, membuat Anetta merasa pengap dengan orang-orang yang terus berdatangan. Ia melirik Diyara yang asik dengan mie cup-nya, yang tak peduli pada kebisingan di sekitar. Hal itu membuat Anetta menggeleng pelan, sepupu Anetta Fatiniantri itu memang patut diacungi jempol. Bagaimana tidak? Gadis itu satu-satunya yang selalu berada di samping Anetta sampai saat ini. Di saat banyak yang menjauhinya, Diyara malah mengatakan kagum padanya.

Detik berikutnya, Anetta tersenyum simpul. Ia menatap bangga pada sang sepupu.

"Kenapa? Mau balik lo?" Diyara menyahut, sadar dirinya diperhatikan.

"Gak, lo habisin aja dulu makannya. Sekalian nunggu Nino balik mesen," jawab Anetta membuat Diyara mengangguk.

"Lo ... ada hubungan apa sama Nino? Anak cupu kayak gitu biasanya jadi bahan bully-an. Gak usah dalam hidup gue ngelihat lo baik sama orang yang jadi korban bully." Diyara menatap selidik sang sepupu, ia merasa ada hal yang aneh pada diri Anetta. Padahal sebelumnya Anetta tidak pernah seakrab ini dengannya, apalagi sampai mau menunggu dirinya menghabiskan makan siang seperti saat ini.

"Gue lagi berusaha jadi orang baik sih, Ra. Tapi ke orang yang memang patut untuk dibaikin, kayak keluarga gue, elo, sama Nino." Anetta berujar seraya menerawang ke arah pintu kantin. Ia memikirkan tujuannya datang ke dunia ini dan hal apa yang perlu ia perbaiki untuk bisa hidup tenang dan bahagia.

"Jadi lo mau ngelepasin hal-hal yang buat lo sakit?" tanya Diyara setelah menangkap maksud dari Anetta.

Anette terkekeh pelan, "Gak usah buka rahasia di tempat kayak gini."

Diyara tersentak, ia baru sadar masih berada di tengah lautan manusia kelaparan yang berdesakan. Ia menoleh ke arah meja di seberangnya, sibuk dengan makan siangnya. Lantas menatap lagi ke arah Anetta, mengangkat bahu sebagai jawaban. Toh, tidak ada yang peduli dengan percakapan mereka berdua, apalagi mengingat Anetta adalah 'si macan' yang tentu tak akan ada yang mau berurusan dengan gadis itu.

"Sudah lama menunggu, Nona?" Seorang pemuda mengambil tempat di samping Diyara, duduk di hadapan sang nona.

"Lama banget! Lo mesen apaan sih, anjir?" Bukan Anetta, melainkan Diyara yang menyahut.

"Gue nanya sama Nona Anetta, bukan Diyara," ralat Nino meluruskan.

Diyara mendelik, "Giliran Anetta lo panggil nona, giliran gue mah lo panggil nama doang. Sopankah lo begitu?" protesnya tak terima.

"Nona Anetta itu spesial, beda sama lo." Nino melirik sekilas, lantas kembali fokus pada makan siangnya.

"Wah, kalo itu gue gak protes, tapi tetep aja kesel hal itu keluar dari mulut lo." Diyara melemparkan tatapan tak percaya pada pemuda berkacamata itu. Ia tak pernah merasa mempunyai saingan seperti Nino.

Anetta yang menyimak hanya menggeleng pelan. Sepertinya ia harus mulai terbiasa bila keduanya berdebat saat bersama dengannya.

Anetta mengalihkan pandangan ke sekitar kantin. Beberapa siswa yang berdiri di stand pemesanan, tidak berdesakan seperti tadi. Terlihat tenang, meski raut mereka terlihat masam. Dapat Anetta yakini bahwa mereka pasti tengah kelaparan.

Netra coklatnya kembali mengalihkan atensinya. Kini pada para siswi yang mejanya tak jauh dari tempatnya. Ia mengamati para siswi itu bersenda gurau, terlihat sangat menikmati makanannya. Anetta tersenyum tipis, ada rasa iri terbesit pada hatinya. Jujur, ia sangat menginginkan hidup seperti itu.

"Net, lo lihatin mereka?" Diyara menangkap arah pandang sang sepupu. Ia ikut mengamati geng siswi yang terlihat biasa itu.

"Gue pengen kayak mereka, Ra. Aman banget bisa ketawa bebas dan mikirin pernah buat salah apa," ucap Anetta masih dengan pandangan yang sama.

Diyara menggeleng pelan, tak lagi menoleh ke arah kumpulan itu. Ia kembali menghadap Anetta. "Lo jadi diri lo sendiri aja, Net. Gak ada yang jauh lebih baik daripada jadi diri sendiri. Bukan jadi orang lain yang kayak lo mau."

"Bener, Nona." Anetta menoleh ke arah Nino. "Nona sudah luar biasa dengan menjadi diri sendiri, dan dengan dengan sendiri lah kita bisa menciptakan kebahagiaan yang kita mau."

Anetta tersenyum simpul, melihat betapa kompaknya dua orang di hadapannya ini dalam menghiburnya. Seperkian detik, ia menggeleng pelan. Tak ada yang dapat dibanggakan dari dirinya. Terlebih saat ini ia sedang menjadi orang lain, bukan diri sendiri.

"Udah mau bel, ayo balik!" Anetta berdiri lebih dulu.

Diyara dan Nino mengangguk, ikut bangkit dari duduknya. Namun, keduanya terkejut saat tiba-tiba seseorang menabrak Anetta.

Sementara itu, Anetta melotot tak percaya melihat cairan berwarna kuning yang kini menempel pada seragam putihnya. Ia lantas menatap seorang gadis yang menjadi pelakunya.

"Lo!"

"Ma-maaf, Anetta, aku gak sengaja. Maaf banget," ucapnya dengan wajah yang kelewat panik, bahkan hidungnya terlihat merah, seolah menahan tangis.

***

Diketik: 722 kata

Diharapkan menekan bintang dan meluweskan jari untuk berkomentar yang baik dan sopan; Terima kasih.

.

Tanggapan untuk chap ini?

Transmigrasi : Anetta's Journey Where stories live. Discover now