3

96 17 20
                                    


Hinata terdiam memandang lukisan yang sudah dia beli dari pemuda itu. "Aneh, aku seperti mengenal nama itu. Ah, tunggu? Bukankah nama itu banyak!" Dia hanya mengoceh sendiri.

Membawa lukisan itu dia mulai meletakkan di dinding kamarnya. Mengambil kursi dia mulai memasang paku di tembok. Setelah selesai dia memasang lukisan itu disana. "Akhirnya selesai juga." Ucapnya dengan senyum puas.

"Kenapa dia memberiku lukisan kelinci yang sedang makan di taman, dengan di kelilingi bunga liar, aish, orang itu!" Gerutunya ringan.

Suara bel apartemen menyentaknya. Segera dia melangkah menuju pintu, setelah  membukanya dan menampilkan kakaknya yang sedang berdiri kokoh dengan setelan kemeja putih di gulung sampai siku. "Maaf, tidak menerima tamu?" Celetuk sang gadis.

Neji terkikik mendengar itu dia, menyentil dahi adiknya." Dasar, biarkan aku masuk?!" Dia menerobos begitu saja dan dengan tenang duduk di sofa dengan kaki di sangga pada satu kakinya. "Buatkan aku minum?" Titahnya.

Hinata meringis pelan, segera dia berjalan menuju dapur, tak lama dia datang membawa secangkir teh kesukaan kakaknya. "Jadi apa kau sudah menemukan pelukisnya?" Ujarnya setelah meminum teh.

"Sudah... Tentu saja lukisanya sangat ditail dan bagus!" Seru sang gadis semangat. Neji mengangkat alis bingung.

"Kau yakin? Jika benar datangkan 3 hari lagi. Bukankah ayah dan ibu akan ulang tahun, dia ingin dilukis saja daripada di foto." Tukasnya tenang. "Dan bagaimana toko kue milikmu?"

"Aku sangat yakin! Dan soal toko semua sudah aman kau tidak perlu khawatir." Hinata mendekati Neji dan memeluk kakaknya manja. Neji yang tahu sifat adik keduanya ini hanya mendengus.

"Berapa?" Ucapnya tenang.

Hinata tersenyum cerah. "Ah, tidak perlu sedikit. Banyak pun aku terima!" Hinata tertawa kecil. Neji hanya mengelus pucuk kepala adiknya.

...

Malam harinya Hinata pergi ke minimarket yang tidak jauh dari apartemen miliknya. Dengan memakai jaket dengan kupluk kucing agar tidak dingin.

Memasuki minimarket dia segera memilih belanjaan untuknya. "Buah di kulkas habis, susu juga dan juga cemilan ringan." Ucapnya sendiri.

Setelah selesai dia segera melangkah keluar. Berjalan kaki dengan menuju apartemenya. Senandung kecil ia lantunkan di bibir mungilnya. Pemandangan di depanya membuatnya takut karena terlihat dua pria sedang mabuk terlihat dari gelagatnya dan tangan yang memegang botol.

Melihat gadis yang terlihat ketakutan membuat orang asing itu tiba-tiba mengejarnya. Hinata mempercepat langkahnya namun mereka juga tidak kalah cepat. "Kenapa kau terlihat ketakutan hm... Gadis manis.." ujar pria tinggi dengan kulit coklat. Satu temanya tertawa mendengarnya.

"Lihat? Tubuhnya sangat sempurna." Celetuk satu temanya.

"Hei, hei kita tidak saling mengenal jadi jangan menggangguku?!" Serunya kesal. Mereka ingin menyentuh wajahnya namun sang empu menyentakknya kuat.

"Kita akan berkenalan saat kita begulat nanti." Tawa terdengar dari mereka.

Hinata dengan kesal menendang burung salah satunya dengan kuat. Dia meringis dan kesal." Gadis sialan!!" Serunya marah.

Dengan mengangkat tangan dia melayangkan botol minuman ke arah sang gadis yang terlihat melindungi dengan tanganya.

Pyaaarr!!

Hinata tidak merasakan apapun. Dia membuka lenganya. Pandanganya terpaku Sai kini mengunakan lenganya untuk melindungi Hinata. " Sialan!" Umpatnya.

"Menjadi pahlawan,eh!"

Mereka melayangkan tinju pada Sai yang langsung di tangkasnya. Wajah pemuda itu terlihat berbeda sangat berbeda. Hingga matanya melotot saat dia mengeluarkan sebuah pisau dari saku celana. "Hentikan!!" 

Tangan itu berhenti di udara saat Hinata berteriak. "Hentikan Sai?!" Serunya keras. Sai berdiri dari atas tubuh pria yang sudah sekarat.  

Hinata dengan cepat menarik pemuda itu menjauh dari sana. Hinata dengan tergesa memasuki apartemen miliknya, dia meletakkan belanjaanya di meja. Tubuhnya dengan cepat mencari kotak P3K. Dia kembali masih dengan wajah yang khawatir. menarik tangan pemuda itu agar duduk di sofa.

Manarik tangan itu yang terluka. "Kau hanya keluar dengan kaos disaat cuaca dingin seperti ini!" Serunya kesal. Kaos lengan pendek itu tentu tidak dapat melindungi tubuhnya. " Kenapa tidak memakai jaket?!" Dia masih mengobati dan mengomel.

Sai merasa dia pernah melakukan hal ini sebelumnya, seseorang mengobati lukanya. Namun dia tidak ingat kapan? Dia hanya memandang wajah Hinata yang terlihat khawatir. Dan itu membuatnya senang entah mengapa. "Ini pasti sakit..." Hinata menahan tangis sendiri dia tiba-tiba terisak karena melihat orang lain terluka hanya karena dirinya.

"Jangan menangis..." Ujarnya tenang. Hinata menatap tidak percaya dia memukul dada pemuda itu sedikit kuat.

"Kau terluka karenaku, itu menyakitkan bagiku..."

"Kenapa?" Hinata terdiam. Dia memandang mata yang terlihat polos itu. "Kenapa sangat menyakitkan untukmu?" Lanjutnya.

Hinata tidak tahu dia mengalihkan pandagan dengan membalut lukanya dengan kasa. "Nanti kau tidak bisa melukis untukku!" Ketusnya. Sai tersenyum mendengarnya namun senyum itu segera menghilang saat wajah gadis itu memandangnya.

"Obati ke dokter jika masih sakit aku hanya melakukan penanganan pertama. Dan kenapa kau bisa ada disana?"

"Aku? Aku hanya mencari inspirasi untuk melukis, dan tidak sengaja melihatmu." Ujarnya tenang. Hinata mengangguk saja.

"Jadi kau mau melukis untukku?" Celetuk gadis itu. Saat melihat pemuda itu ingin mengeluarkan kata-kata segera Hinata menyahut cepat. " Aku memberimu waktu 3 hari pas hari ketiga kau harus menjawabnya."

Sai terdiam. Dia memandang wajah sang empu dalam membuat Hinata kikuk karena pandangan itu. "Entahlah!" Ucapnya asal. "Kenapa tidak mencari pelukis lain saja?" Lanjutnya dengan bertanya.

"Hm, kau benar tapi aku hanya ingin kau!"

"Kalau begitu aku pulang dulu. Terimakasih untuk penanganan utamanya." Ujarnya tenang. Dia beranjak dari duduknya ingin berjalan keluar.

"Tunggu?! Aku sedang membuat ramyoen kau mau?"

Disinilah mereka duduk di lantai. Dengan dua mangkok ramyoen. Hinata makan dengan lahap namun Sai masih memandang gadis itu tenang. "Hei, makanlah itu sebagai tanda ucapan terimakasihku."

Melihat lengan itu yang terbalut kasa membuatnya berfikir sebentar." Apa itu sakit? Atau kaku di lenganmu?" Tanyanya.

"Tidak." Dia mulai menyumpit dan makan dengan tenang, meski masih merasa nyeri tapi baginya tidak ada apa-apa untuknya.

"Aku bisa membantumu, jika kau mau?" Tawar Hinata pelan. Hanya gelengan yang dia dapatkan. "Ouh, baiklah!" Hinata lantas memakan miliknya dengan tenang sesekali akan melirik Sai yang terlihat fokus makan.

Hinata menatap Sai intens, dia mengamati setiap inci wajah dari pemuda itu. Jika di amati dia tampan dengan aksen manis. Bibirnya tersenyum malu dia dengan cepat meraup mie dengan sumpit di mangkuk dengan cepat.

"Jika kau terus menatapku, aku takut kau akan jatuh cinta denganku..." Celetuknya enteng.

"Siapa?! Harusnya aku yang bilang seperti itu padamu." 

Sai menghentikan kegiatanya. Dia memandang wajah manis gadis itu. "Kau benar, kau tau? jika sudah jatuh cinta aku tidak akan melepasnya." Ujarnya tenang.

"Sedikit menyeramkan..." Bisiknya sendiri. Sai tersenyum miring dia hanya merasa lucu dengan gadis di depanya namun dia juga merasa tenang saat bersamanya. Rasanya kau seperti di pertemukan dengan kekasih lamamu.

Pandangan Sai jatuh pada wajah manis Hinata yang terlihat makan dengan wajah kesal. Dia mamandang datar setiap gerakan itu. Hingga entah mengapa tanganya terangkat dengan lembut menyetuh pipi chubby sang gadis mencubit pelan. Membuat tubuh gadis itu terpaku.

"Kelinci." Celetuknya santai. Dia beranjak dari duduknya dan dengan santai berjalan menjauh menuju pintu. Meninggalkan gadis itu yang terpaku sendiri dan masih linglung. 








I Found YouWhere stories live. Discover now