15

50 10 6
                                    


Hinata memandang punggung itu yang menjauh, setelah kepergian Sai dia memasuki rumah. Memasuki kamar yang hanya dia seorang, kakinya melangkah mendekati ranjang. Mendaratkan pantatnya di atas kasur, duduk dengan tenang, namun dia juga merasa bingung sendirian disini. Mengedarkan pandangan pada kamar yang memang nuansanya gelap abu-abu. Mengelaha nafas Hinata berjalan menuju laci.

"Sai aku izin membuka laci dan lemarimu ...," Berbicara sendiri, dia seakan tahu jika Sai mengijinkanya, tersenyum sendiri lantas berucap. " Iya, tak apa lakukanlah semaumu." Dia terkikik sendiri karena tingkahnya terlihat konyol, untung sepi hanya dirinya saja.

Laci coklat itu ia buka, hanya ada kertas-kertas yang mungkin saja bagi Sai penting. Dia menutup kembali dan beralih pada laci di bawahnya, hingga paling bawah dia menemukan sebuah buku Drawingbook dan Diary sangat menarik perhatianya. Dia duduk di lantai dengan tenang.

Drawing book hanya sebuah gambar- gambar anak kecil, yang di gandeng dengan anak yang sedikit lebih tinggi. Hinata berfikir jika itu adalah kakaknya atau temanya?

Membalik satu persatu, bibirnya tersenyum lembut, dengan melihat gambar-gambar hitam putih di pangkuanya, hingga sampai pada gambar gadis yang sama saat di toko, dari belakang atau samping. Seperti lukisan yang ia bilang jika itu adalah dirinya. "Benar-benar mimpinya terus menghantui." Gumamnya pelan.

Mengambil buku Diary dia mulai membaca satu persatu tulisan yang menurutnya lucu, karena benar itu adalah kakaknya. Namun di pertengahan dia menemukan sesuatu yang membuatnya terpaku.

-Kakak pergi meninggalkanku, karena rasa sakit di kepalanya yang terus dia eluhkan. dia terus mengeluarkan darah di hidungnya.

Membalik lagi lembar buku dia membaca dengan pelan dan cermat.

- Hingga akhirnya aku tahu jika kakak ternyata sakit, sakit yang membuat nyawanya hilang. Kanker otak. Mimpinya yang ingin menjadi pelukis kini sirna karena itu aku ingin terus melukis melanjutkan mimpinya. Namun ayah menentangku dia ingin aku bekerja di perusaahan meneruskan bisnisnya. Tidak masalah asal aku masih bisa melukis, namun berbicara dengan orang tua sangat sulit. Aku memilih pergi hidup bebas hingga aku ingin melakukan keduanya. Bukan salah satunya.

- Ibu yang tidak kutau dia pergi entah kemana, ayah tidak pernah bicara tentang ibu dia hanya terdiam saat aku mengatakan " dimana ibu?" Dia hanya menjawab " di langit dia menjadi bintang." Aku masih belum puas jika ibu di langit itu berarti dia sudah meninggal lantas apa alasan meninggalnya?

Satu lembar yang seperti baru di tulis membuatnya berkaca-kaca.

- Aku bingung dengan mimpi aneh-anehku aku selalu mencari siapa dia? Gadis itu selalu terbayang aku selalu melukisnya.

-Kini aku tahu siapa gadis itu Hinata! Kau yang selalu kucari dalam mimpiku kini aku menemukanmu.

Air mata di pelupuk matanya yang ia tahan seketika meluncur begitu saja membasahi pipi putihnya. Dia tidak menyangka jika Sai menyimpan semuanya sendiri rasa sakitnya, kesendirianya dan rasa sepinya.

Hinata menangis tersedu-sedu memikirnya betapa kuatnya dia, tanpa siapapun berjuang sendirian. Dia yang mempunyai banyak kasih sayang, namun Sai yang kehilangan semuanya memperlakukanya sangat baik.

Sai memberikan kasih sayang , cintanya yang begitu besar kini untuknya.

Hinata dengan pelan mengembalikan semuanya di dalam laci. Dia mengusap air matanya pelan berjalan menuju ruang tamu.

Duduk di sofa menunggu Sai untuk pulang. Dia akan menunggunya.

Suara decitan pintu membuatnya terkesiap menampakkan seorang pemuda yang berwajah polos namun teduh meski ada kesan dingin.

I Found YouWhere stories live. Discover now