17. 100 Hari Listia

843 101 23
                                    

Happy reading, jangan lupa vote dan comment nya. Terima kasih.

***

Setelah berpikir, berpikir, dan berpikir, akhirnya Djenar menyetujui untuk menjadi pembawa acara berita. Dia masih punya waktu lama menjadi Reporter sebelum pindah bagian. Masih tahun depan. Jadi dia akan mempergunakan waktunya dengan baik untuk mengumpulkan semua informasi yang dia punya.

Hari ini Djenar bertolak ke Semarang. Seperti janjinya tempo hari, seratus hari Listia dia akan menyempatkan waktu lebih lama disana, menemani Sofia dan Wisnu, sekaligus dia akan memancing informasi dari Wisnu. Kali ini Djenar yakin Wisnu akan bicara. Djenar akan menunjukan ijazah dan foto-foto lama Widya pada Wisnu. Dia tidak akan bisa berkelit, paling tidak Djenar yakin kalau Wisnu tahu latar belakang pendidikan Widya.

Naik kereta pagi-pagi sekali, siang harinya Djenar sudah sampai di Semarang. Dia sengaja tidak ingin minta jemput. Djenar bukan perempuan manja lagi, dia bisa melakukan semuanya sendiri.

Dia yakin kalau Genta dan Levian pasti sudah ada di rumah lebih dulu dibandingkan dirinya. Ya, lelaki itu, Gentala Abimanyu masih datang di acara seratus hari Listia. Semua prasangka Djenar langsung hilang. Genta, meskipun menyebalkan dan ketus, tapi Djenar tahu Genta adalah lelaki yang dididik untuk menjunjung tinggi kesetiaan dan nama baik.

Djenar berjalan pelan, dia hanya membawa satu tas yang lumayan besar karena tidak banyak barang yang dia bawa. Dari depan dia bisa melihat pintu utama yang terbuka lebar, kebiasaan Sofia sejak dulu yang suka membuka pintu hingga sore hari.

Baru sampai di ambang pintu, sayup-sayup Djenar bisa mendengar suara Sofia yang pelan dan serak. Dari cara bicaranya sudah pasti Sofia sedang bicara dengan Genta.

"Mama tuh sempat sedih, kenapa dulu kalian nggak program untuk punya anak saja. Listia juga, dia kan Dokter Kandungan. Paling tidak kalau kalian punya anak sekarang kan Mama nggak sesedih sekarang. Masih ada cucu, masih ada yang bisa Mama peluk kalau kangen sama Listia." suara itu terdengar menyedihkan di telinga Djenar. Tangisan Sofia bukan seperti tangisan Djenar yang meraung-raung, ini lebih menyakitkan.

Antara ingin menangis, tapi tahu kalau ditangisi pun tidak ada gunanya. Tapi kalau tidak menangis, hati rasanya tidak kuat. Menangis juga malah membuat hati semakin hancur, bukannya semakin membaik.

Djenar tidak bisa bilang dia mengerti kesedihan Sofia. Tidak ada seorang pun yang bisa mengerti rasanya kehilangan anak kalau dia tidak mengalaminya sendiri, terlebih seorang anak sulung. Anak pertama yang selalu punya tempat spesial bagi setiap orang tua.

Tidak ada tanggapan dari Genta. Lelaki itu hanya diam mendengarkan Sofia. Semua orang baru merasa menyesal ketika sudah kehilangan. Mungkin sekarang Genta juga merasa seperti itu. Seandainya ada sedikit bagian dari Listia yang tersisa, mungkin kenangan mereka akan sedikit terasa lebih manis, tidak pahit dan getir seperti sekarang.

"Harusnya kemarin-kemarin Mama lebih sering menghubungi Listia. Harusnya Mama lebih sering telepon dia. Sekarang Mama kangen, lihat foto Listia saja rasanya nggak cukup." suara serak itu berubah menjadi isakan pilu.

Djenar melangkahkan kakinya pelan, menuju ruang keluarga tempat Sofia dan Genta duduk. Hanya ada mereka berdua. Genta jadi orang pertama yang menyadari kehadiran Djenar. Dia mengisyaratkan Genta untuk tetap diam, tidak mengganggu Sofia.

Sofia lebih kurus dibandingkan terakhir kali mereka bertemu saat Listia dimakamkan. Perlahan Djenar menghampiri Sofia. Duduk di samping Sofia dan memeluk lembut Tante nya itu. Wanita yang sudah dengan sepenuh hati merawatnya seperti anak sendiri.

Saat Sofia menyadari Djenar memeluknya, tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya. Dia merangkul Djenar, menumpahkan semua air matanya pada Djenar. Isak tangisnya semakin kencang, membuat Sofia tergugu sendiri. Tangan Djenar masih setia memeluk Sofia, sesekali mengelus punggung yang dirasanya semakin kecil itu.

Buku Resep CintaWhere stories live. Discover now