25. Orang Gila

772 84 2
                                    

Happy reading, jangan lupa vote dan comment nya. Terima kasih.

***

"Ih gila tukang sate ramai banget jualannnya. Mau satu setengah jam nunggunya aja." Levian yang baru sampai dan masuk menggerutu kesal. Bagaimana tidak, dia sudah bilang pada Djenar kalau tukang sate yang di depan komplek itu ramai, tapi Djenar mungkin sengaja mengerjainya dengan tetap ingin makan sate yang di sana, tidak mau di tempat lain.

Levian langsung menuju ke meja makan. Di sana ada Djenar dan Genta duduk berhadapan, saling bertatapan. Bukan tatapan mesra atau tatapan bersahabat. Baik Genta maupun Djenar sama-sama memancarkan aura permusuhan yang sangat kental. Sepertinya dia ketinggalan berita saat mengantri membeli sate tadi.

"Udah pada lapar ya? Sampai kayak mau makan orang begitu," celetuk Levian saat dia sudah mendekat ke meja makan. "Ambil piring sana Djen, tiga ya." suruh Levian lagi.

Djenar bangkit berdiri dengan kasar. Membuat bunyi gesekan antara kaki kursi dan lantai berdecit memekakkan telinga. Untung saja kursinya tidak sampai terbanting jatuh. Levian melotot sangking kagetnya. Dia mengamati Djenar sebentar sebelum beralih pada Genta dengan muka bodohnya.

"Kenapa itu anak? Tantrum? Sudah setua itu masih tantrum dia?" Tanya Levian pada Genta, namun tidak dijawab oleh Genta.

Levian pikir hari ini hidupnya benar-benar sial. Sudahlah diomeli oleh Wisnu untuk memperhatikan Djenar, padahal Djenar cuma sakit, bukannya lumpuh atau koma. Kemudian dia terjebak di dalam rumah bersama Djenar dan juga Genta yang sama-sama aneh.

Di rumah ini hanya Levian yang waras, percayalah. Hanya dia yang benar-benar bisa dikatakan manusia murni, yang lainnya spesies entah berantah. Kedua orang tuanya masih bisa dikatakan agak normal, tapi saudara-saudaranya?

Listia yang begitu, sekarang dia bersama Djenar yang selalu hobi ngambek, juga Genta yang pelit bicara seperti orang bisu. Malah tambah parahnya lagi Djenar sekarang sedang kesal entah karena apa, masalah yang tidak Levian ketahui. Wanita, selalu mampu membuat lelaki ketar-ketir dan berdebar bukan hanya karena jatuh cinta, tapi juga karena yang lainnya.

Djenar datang dengan tiga piring di tangannya yang bertumpuk. Dia meletakkan piring tersebut di atas meja makan, kemudian kembali duduk dengan lagi-lagi kasar menurut Levian.

"Om sama Tante pulang jam berapa Mas?" Tanya Djenar saat dia mengambil piring. Dia hanya mengambil piring untuk dirinya sendiri, tidak untuk Levian maupun Genta. Egois sekali memang.

"Malam kayaknya. Paling cepat jam sepuluh." Levian menyerahkan satu bungkus sate untuk Djenar dan satu bungkus lagi untuk Genta.

"Yah, tau gitu Djejen ikut kondangan aja deh jadi bisa makan enak..." kata Djenar santai, tanpa rasa bersalah padahal Levian sudah menatapnya dengan kesal.

"Heh! Anak kecil, gue udah ngantri ini sate satu jam sepuluh menit dan sekarang lo bersungut-sungut begitu. Waktu gue satu jam lebih terbuang cuma buat supaya lo bisa makan. Mana gue juga yang bayar lagi. Cepetan makan! Abis itu tidur, nanti Papa pulang lo belum tidur gue lagi yang disemprot." Levian kesal. Djenar ini memang tidak bisa sekali saja tidak membantahnya. Bahkan ketika sakit pun dia masih seperti ini.

Sejak dulu Levian memang tidak pernah ingin punya adik lagi. Cita-citanya adalah menjadi anak bungsu di keluarga, dan semua itu sirna saat Djenar datang. Secara teknis memang tidak, tapi secara realita Djenar memang anak bungsu di keluarga ini.

Awalnya kesal, tapi dia juga kasihan karena saat pertama kali datang Djenar belum bisa bicara, setidaknya itu yang dia pikir dulu. Levian jadi lebih usil dan sering mengganggu Djenar supaya dia bisa bicara, paling tidak protes kalau sedang diusili.

Buku Resep CintaWhere stories live. Discover now