LOS ANGELES

1 0 0
                                    

Aku menahan nafas, ketika melihat wajah hancur terbakar menatapku dari jarak dekat. Mengerikan, terbangun dan membuka mata harus disambut dengan pemandangan seperti itu.

Sebelah wajahnya berlendir serta mata yang rusak, sebelah wajahnya lagi dipenuhi luka yang sudah mengering.

"Jadi Bastian yang selama ini melindungimu?" Saat dia mengucapkan kalimat itu, hawa napasnya menyapu wajahku.

Semakin membenamkan kepalaku pada sandaran kursi. Melihat ke sekeliling menyadari aku berada di tempat asing. Sudut mataku menetap jendela yang ada disampingku. Baru menyadari bahwa aku berada di atas pesawat. Pemandangan di luar memperlihatkan pelataran pesawat.

Aku menelan ludah, menghindar dari wajah Ronald yang semakin dekat.

"Seorang gadis belia berani mempermainkan aku. Tapi tenang saja, gadis itu sebentar lagi akan mendapat hukuman." Ronald menyeringai memperlihatkan barisan gigi depannya.

Kalimat penuh penekanan itu mengancam. Aku tidak berani untuk mengeluarkan suara. Tidak berani untuk memohon agar dia mau melepaskanku. Karena itu rasanya percuma.

"Anak mama.... Bertindak sok jagoan. Ya. Kamu berhasil membuat kerugian besar saat rumah besarku terbakar. Kamu harus mengganti semuanya," ucapnya mencengkram pipiku.

Berbeda dengan beberapa pesawat yang aku tumpangi. Pesawat ini jelas bukan untuk umum. Terlihat dari kursi yang ada di kabin. Kurasa ini pesawat pribadi milik Ronald. Entah ke mana pria paruh baya ini akan membawaku.

Ronald melepaskan cengkramannya pada pipiku. Menjauh saat anak buahnya menghampiri. Mendengar percakapan mereka dari kejauhan, masjid terdekat samar-samar.

Mual perutku, saat mendengar pembicaraan mereka. Ternyata pesawat pribadi ini akan berangkat menuju Los angeles, Amerika Serikat. Ya Tuhan. Aku meninggalkan negeri ini bukan dengan Bian, melainkan dengan Ronald.

Peringatan dari pilot yang ada di kabin depan, bahwasanya pesawat ini akan segera lepas landas. Beberapa orang hilir mudik untuk mencari tempat duduk. Tidak ada lagi yang berdiri sekarang.

Aku pasrah dengan tubuh yang diikat pada sandaran kursi. Seorang pria berseragam mendekatiku, tangannya menyelinap masuk ke dalam pinggang. Membenarkan sabuk pengaman yang terpasang di tubuhku.

Tampak Ronaldo memasuki sebuah ruangan, beruntung dia tidak duduk pada bangku yang ada di hadapanku. Perjalanan belasan jam, akan menakutkan jika harus ditetapkan oleh wajah yang berantakan.

Seorang perempuan dengan pakaian minim berwarna merah menjadi penghuni bangku yang ada di hadapanku. Dia memperhatikanku dari atas ke bawah, sedangkan aku memalingkan wajah menatap jendela.

Menggigit bibir, menahan tangis. Dalam satu kedipan, air mata jatuh ke pipi. Tidak ada orang yang aku kenali di sini. Tidak akan ada yang mau membantuku setelah ini. Aku benar-benar sendirian.

Sesak di dada. Kenapa nasib buruk selalu menimpaku? Jika Tuhan ingin aku berjuang saat menjalani hidup, apakah harus melewati kerikil tajam sepanjang waktu? Ini tidak adil bagiku. Aku telah mendapat banyak cobaan, apa aku tidak boleh bernafas sejenak? Apa aku tidak boleh menghindar?

Semakin aku memejamkan mata, makin deras air mata itu mengalir. Aku membenturkan kepalaku berkali-kali, pada sandaran kursi. Tidak peduli dengan tatapan wanita yang terus tertuju kepadaku.

Katanya keberuntungan selalu berpihak pada kebaikan? Mana buktinya? Lihatlah aku sekarang berada di dalam cengkraman hewan buas. Tidak ada keberuntungan untuk perempuan sepertiku. Kalimat itu bohong.

"Hei! Hei! Are you ok?" Perempuan itu bersuara.

Mungkin dia heran melihatku yang tidak berhenti menangis. Wajah yang tadinya sinis, ini terlihat mengasihani.

jasad adikku Di plafon Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang