chapter 5- Air Mata

4K 267 2
                                    

Surya pov

Aku menatap Lunara selagi dia makan. Dia tak tampak berselera makan ataupun antusias menyambut Devon. padahal sejak kecil dia mengidolakan Devon dan kutahu bahwa pemuda itu adalah cinta pertamanya.

"Dimakan dong, Lunara, apa enaknya coba dipelototin?" Ujarku sambil mencomot sepotong daging steak miliknya.

"AKu tidak lapar. Nih, makan kalau mau."

Aku merasakan tatapan mama dan papa, menatap cemas kakakku. Dia jatuh sakit beberapa waktu lalu dan kelihatannya mereka-orangtuaku mulai berperan seperti orangtua pada umumnya.

Sejak kembali dari toilet, Devon dan Lunara sama -sama mengutarakan aksi tutup mulut. Tak ada yang bicara dan semuanya tampak canggung. Mereka membalas banyolanku hanya dengan senyum singkat padat jelas.

"Aku selesai. Ingin cari udara segar."

Aku menatap kakakku cemas. Dia tidak makan banyak dan bahkan tak menyentuh strawberry cheese cake kesukaannya.

"Aku ikut denganmu."

Lunara membiarkan aku mengikutinya menuju halaman restoran yanng dipenuhi lampu cantik. Dia tidak marah aku mengekor, mungkin terlalu lelah untuk membalasku. Barulah kini kusadari tubuhnya terhuyung ke samping lalu segera tegak kembali. Saat dia nyaris jatuh kedua kalinya, aku menahan pinggangnya.

"Makasih.."

"Kamu bohong sama aku kan? Tentang penyakitmu?"

Aku sendiri bingung mengapa ucapan itu terlontar dari bibirku. Aku tak pernah menuduhnya berbohong, tapi belakangan ini dia selalu nampak lelah dan tak mungkin hanya kecapekan. Lunara menatapku tanpa berkedip lalu memukul dadaku dengan senyum simpul.

"Kamu memang adikku."

Berbagai skenario berputar dalam kepalaku. Dia tidak sakit parah kan? DIa baik baik saja kan?

"Aku memang ingin memberitahumu. Tapi tidak pernah merasa mampu mengatakannya padamu."

"Lunara..."suaraku berubah jadi bisikan serak saat dia memelukku erat, menyembunyikan wajahnya dalam dekapanku.

"Aku menderita kanker otak. Masih stadium awal."

Aku tidak berkedip selama beberapa detik, berusaha mencerna ucapannya. Otakku tak ingin percaya, tapi nada suaranya tak dapat membohongiku.

"Lunara, Demi Tuhan, jangan bercanda."

Lunara menggeleng pelan. "Aku tak pernah lebih serius dari ini."

Aku kembali memeluk kakak, sangat erat hingga dia tak bisa bernafas. Setengah dari diriku berharap dia akan berkata "aku bercanda!"

Tapi nyatanya dia tak begitu. Jemarinya yang ramping dan kurus balas memelukku, menyapu punggungku dengan lembut, sementara bibirnya berusaha menenangkan isakanku.

***

Devon pov

Aku mengikuti adik kakak itu menuju taman setelah Om dan Tante memaksaku pergi bersama mereka. Mengobrol dan bercanda seperti dulu, katanya. Tapi jelas saja itu mustahil dilakukan.

Lunara dan Surya tengah berpelukan di dalam taman. Aku melangkah lebih dekat dan dekat hingga cukup untuk mendengar pembicaraan mereka. Niatku maju tiba -tiba sirna saat Surya menyebut nama kakaknya dengan suara serak.

Aku menderita kanker otak. Masih stadium awal."

Kakiku membeku di tempat. Kurasakan Surya mengalami hal yang sama. Dia mulai terisak sementara Lunara menepuk punggungnya lembut. Aku tak dapat berpikir jernih. Lunara tak mungkin berbohong tentang hal seperti itu, tapi tak ingin pula mempercayai ucapannya.

Untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun belakangan, aku menangis untuk anak perempuan.

***

Lunara melepaskan pelukannya, saat itulah dia melihat sosok di belakang punggung Surya, menatap tanpa suara, mata keduanya bertemu. Devon berusaha mengatakan sesuatu, sebelum air matanya mengalir turun.

Dia memanggil nama gadis itu. Ribuan penyesalan menyesakkan dadanya.

One Last Wish (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang