chapter 9 truth about three of em

3.7K 193 1
                                    

Devon pov

Kemarin Lunara tidak masuk sekolah untuk check up. Surya memberitahuku bahwa sesegera mungkin gadis itu akan menjalani kemoteraphy.

Aku merasa sangat khawatir. Tapi, apa yang bisa kulakukan karena Lunara masih menghindariku... dia membenciku, jelas. Kurasa banyak hal yang membuatnya pantas marah padaku.

"Devon Aditya Lesmana!"

Aku berjengit saat namaku dipanggil dari depan kelas dengan suara menggelegar. Guru matematika, Maam Lusi, berkacak pinggang, menunjuk rentetan soal di papan tulis untuk kukerjakan sebagai upah melamun.

Soal itu nampak mudah karena kukuasai saat di Singapura, namun moodku berada di kelas sudah menguap. Setelah menyelesaikan soal, aku melangkah meninggalkan kelas, mengabaikan gerutuan Maam Lusi dan menuju UKS untuk tidur siang.

Saat kubuka pintu ruang UKS, Miss Amanda menaruh telunjuk di bibirnya, menandakan ada yang tidur di dalam sebelum aku. Aku mengangkat bahu, lalu berjalan menuju bilik di dekat jendela.

"Devon, tolong jaga gadis yang sedang tidur di sebelah itu ya. Aku harus keluar sebentar,"ujar Amanda sambil mengintip ke dalam bilik Devon.

"Gimana kalau aku ngapa -ngapain?"

Amanda tersenyum lebar. "You won't. Good boy, take care of her."

Meninggalkanku sendirian dengan gadis itu, sungguh guru yang serampangan.

"Kamu mau ngapa -ngapain aku?"

Suara erangan dari bilik sebelah membuatku terkejut. Ingin rasanya aku menyibak selembar kain yang memisahkan kami, namun suara itu mencegah.

"Jangan buka gordennya. Aku belum... ingin melihatmu..."

"Lunara? Kamu baik -baik saja?"

"Apa menurutmu aku baik?"

Aku terdiam, merutuk diriku sendiri. Tentu saja dia tidak baik -baik saja dengan kanker yang menggerogoti otaknya.

"Kenapa kau menghindariku, Lunara? Apa kamu membenciku?"

"Kenapa kau pikir aku membencimu?"

Aku terdiam. Mengapa aku berpikir Lunara membenciku? Bukankah jelas itu karena lunara menghindariku?

"Karena kamu menghindariku..."

Lunara tertawa, tawa pertama yang kudengar sejak pertemuan kami baru baru ini.

"Jadi? Kenapa kau tertawa? Dan kenapa membalas pertanyaanku dengan pertanyaan?" Gerutuku.

"Aku tidak membencimu.... Hanya saja, bersamamu membuatku sakit..."

"...Sakit?"

"Hmm... kau itu tipe yang tak terjamah, kau tahu? Dan entah apa yang merasukiku untuk berbicara padamu sekarang..."

"Lunara?"

Gadis itu tidak menjawab selama beberapa saat, membuatku sangat khawatir. Berbekal nekat, kusibakkan gorden yang membatasi kami. Ternyata Lunara tertidur, mendengkur lembut, wajahnya sedikit pucat dan dia nampak lebih kurus.

"Ara," ujarku perlahan, menyisipkan beberapa lembaran rambutnya ke samping telinganya. Kulepaskan kacamata yang dikenakannya, lalu meletakkannya di nakas tempat tidur.

Aku merendahkan tubuh, meletakkan bibirku pada dahinya.

"Selamat tidur."

***

Surya pov

Kutahu Devon menaruh perasaan pada Lunara, begitu pula sebaliknya. Aku mengetahuinya tapi tetap tak bisa berbuat apa apa.

Dia menganggapku sebagai keluarganya, dan Lunara menyayangiku sama seperti aku menyayanginya. Tapi apakah perasaan yang dimilikinya untuk Devon berbeda dengan apa yang dimilikinya untukku?

Mengapa aku merasa cemburu melihat Devon berada di sana bersamanya?

Mengapa aku merasa kesal saat Devon mengecup dahinya?

Mengapa aku mulai mengharapkan Lunara?

***
Author pov

"Hoammmmm"

Lunara mengucek matanya dua kali. Cahaya matahari yang berwarna jingga membuatnya terbangun. Tidurnya nyenyak sekali dan dia merasa segar.

"Lunara? Sudah bangun? Alex akan menjemputmu?"

"Surya...?"

Pemuda itu menyembulkan wajahnya dari balik gorden sambil membawa sebotol air mineral. Cengiran jahil terukir pada wajahnya.

"Yep. Ini aku. Siapa lagi kau kira?"

Lunara menggeleng kuat -kuat, berusaha mengenyahkan bagian dari dirinya yang berharap Devon ada di sana sekarang.

Uh... dia merasa bodoh.
Lunara menepuk pipinya dua kali, lalu menatap kacamatanya yang sudah terlipat rapi di nakas.

Devon yang meletakkannya di sana. Lunara yakin. Entah mengapa dia ingin tersenyum. Apakah dirinya kembali mencintai Devon?

Jika memang benar, bisakah dia berharap, Devon juga memiliki perasaan yang sama untuknya?

Surya menatap kakaknya sambil tersenyum miring, mungkin seharusnya dia tak memanggilnya kakak lagi. Mereka tak berhubungan darah dan... sesuatu di dalam dirinya menginginkan gadis itu bukan menjadi kakaknya....

Seharusnya dia sadar, sejak dulu, mungkin sejak awal...

Lunara adalah cinta pertamanya

***

Alexander pov

Saat hendak berbicara dengan dokter yang menangani Lunara, aku melihat sesosok wanita. Wanita itu memandangi langit jingga dari tempatnya berdiri, menunggu taksi kelihatannya.

Aku memandanginya, figurnya yang nampak tak asing lagi, bagaimana caranya menyelipkan seuntai rambutnya ke balik telinga membuatku teringat pada Marika.

"Taksi!"

Wanita itu mengangkat tangannya, memanggil taksi yang kebetulan melintas. Dia mengangkat tasnya, lalu meletakkannya di bangku tempat duduk. Sedetik kemudian dia berpaling ,tatapan kami bertemu untuk satu per sekian detik.

Jantungku seakan melompat dari rongganya. Kukenali wajah itu, wajah yang dulu membuatku tersenyum setiap hari, wajah yang kini membuatku teringat tentang cinta yang menyakitkan.

"Marika... kau kembali ke kota ini...."

***

Marika pov

Kami bertatapan.

Aku dan lelaki itu....

Aku segera berpaling,namun kuyakin dia mengenaliku. Tanpa ragu, kulangkahkan kaki memasuki taksi, meninggalkannya dalam tanda tanya besar.

Kuusap peluh yang mengalir di dahiku, lalu meraih sebotol obat penenang yang selalu kusimpan di dalam saku.

Dua butir, tiga butir...
Aku tetap tidak menemukan dosis yang tepat.

Berapa banyak pun yang kuminum, entah mengapa tidak membuat perasaanku tenang, dan sama sekali tidak menghentikan detak jantung yang masih terdengar sangat jelas di telingaku.

One Last Wish (Completed)Where stories live. Discover now