chapter 12 awal

3K 190 0
                                    

Chapter ini memang ga jelas tapi dibutuhkan untuk chapter selanjutnya (?)

Haha
Btw, happy reading ^^

Lunara pov

Aku terbangun sambil mencium aroma rumah sakit yang penuh antiseptik. Surya tertidur di bangku yang tak jauh dari tempat tidurku. Tak berapa lama dia menggeram pelan dan memandangku.

"Sudah bangun, Lunara?" Suaranya serak dan parau. Aku mengangguk.

Surya berdiri dan membuka gorden ruangan. Cahaya matahari yang menyilaukan membuatku memicingkan mata "Semalam Alex, Mama dan Papa datang. Alex akan membawakan barang -barangmu dan mengantarkannya ke sini sebelum berangkat ke kantor."

"Minumlah."

Aku menerima segelas air yang diberikan padanya, lalu meneguk isinya sampai habis dan malah minta nambah. Sepertinya Surya tahu aku membisu karena kerongkonganku terlalu kering.

"Lusa kemotheraphy-nya akan dilangsungkan. Apa kau siap, Luna?"

"Ya... mungkin?"  Ujarku pelan. Tak yakin apa aku memang siap atau tidak.  Tapi yang jelas aku akan melakukannya.

"Aku akan memberitahu dokter kau sudah bangun. Berbaringlah."

"Oke...." aku menjawabnya lemah. Tubuhku memang terlalu lemah untuk bergerak banyak.

***

Siang harinya , aku kebelet ingin ke toilet. Tak ada siapapun yang bisa menemaniku karena Surya pulang untuk berganti pakaian sementara Alex masih ada urusan di kantornya. Mama dan Papa belum datang.

Perlahan, aku menarik tiang infusku bergerak. Kakiku terasa lemas karena sudah terlalu lama berbaring. Dengan segera dan langkah kecil aku bergerak menuju toilet.

Sepulangnya dari toilet, aku tak ingin segera kembali ke kamar. Bosan dan rasanya menyiksa hanya duduk seharian menatap layar tv bergerak tak karuan.

Akhirnya kakiku sampai di taman rumah sakit. Banyak orang berpakaian pasien berjalan -jalan, ada yang memakai kursi roda, ada yang membawa tongkat berjalan. Kusadari diriku beruntung karena masih bisa berjalan dengan kakiku sendiri. Mungkin tak lama lagi tapi sudahlah...

Baru beberapa langkah berjalan memasuki taman, aku merasakan tanah di bawahku bergoyang. Aku terjatuh. Dahiku membentur tanah terlebih dahulu.
Perlahan aku beringsut untuk duduk. Kuusap darah yang mulai mengalir dengan lengan pakaianku.

Refleksku memburuk. Dan bahkan lenganku tak bekerja untuk menahan jalur jatuhku. KEadaanku memburuk dan jelas tak perlu seseorang untuk menjelaskannya.

Saat seorang perawat berlari menghampiriku, aku tak bergeming dan tetap diam tak bersuara.

Saat itulah aku merasakan bahwa kematian dapat menjemputku kapan dan dimana saja.

***

"Luna! Kenapa kamu berkeliaran sendiri?"

Surya menatapku panik sementara seorang perawat membersihkan lukaku.

"Cuman lecet kok. Jangan lebay dong,Surya."

"Lain kali, panggil aku kalau mau pergi.... jangan kayak anak kecil ilang -ilangan gitu."

"Oke, bos." Aku mengangguk, sedikit meringis saat perawat mengusapkan obat merah pada dahiku.

***

Hari ini hari Minggu.

Aku harus istirahat total. Tidak ada pergi jauh -jauh dan aku tak menerima banyak tamu. Besok aku akan di kemo dan kondisiku cukup prima. Walaupun efek sesudahnya berbeda pada setiap orang kata dokter.

Kutendang buku novel yang dibawakan Alex ke sudut ranjang. Sekarang, membaca adalah kegiatan yang melelahkan. Terkadang, teks itu nampak menghilang dan muncul sehingga membuatku menyerah membaca buku yang jujur terlihat sangat menggiurkan itu.

" Lunara! Ada tamu. Ganteng, bawa bunga lagi. Mau dibiarkan masuk?" Ujar seorang perawat membuatku terkejut setengah mati karena taksadar dia sudah ada di dalam.

"Surya? Sus kan udah kenal sama Surya, biarin masuk aja..."

"Bukan ,ihh! Kalau Surya sih udah apal saya. Dia belum pernah ke sini. Namanya... Devon gitu ya?"

Hatiku berdenyut. "Devon?"

"Iya! Namanya Devon. Ampun deh entah teman atau adikmu semuanya tampan!"

"Biarkan masuk deh,Sus... aku juga mau ngomong sama dia."

Akhirnya, aku dan Devon bertatapan. Pemuda itu menyunggingkan senyumnya sambil menyerahkan serangkai bunga. "Cepet sembuh dan goodluck buat kemonya besok."

"Ah.. thanks."

Kami terdiam sampai akhirnya dia membuka mulut duluan. "Apa yang... ah... bagaimana mengatakannya.... apa yang kaumaksud dengan 'suka' pada waktu acara kemarin lusa?"

"Itu saja?"

Pemuda itu menggaruk lehernya yang tidak gatal dengan wajah memerah.

"Kalau kubilang aku menyukaimu. Bagaimana?" Balasku menantangnya.

Devon tercengang lalu tertawa pelan dengan nada sumbang. "Jangan bercanda, Ara. Istirahatlah dan goodluck untuk kemonya. Aku akan mampir sepulang sekolah besok. Bye"

Aku belum sempat mengatakan apapun dan Devon sudah menghilang di balik pintu. Perasaannya dianggap sebagai candaan dan aku merasa bodoh.

Seharusnya aku mengatakan yang sejujurnya,bukan?

One Last Wish (Completed)Where stories live. Discover now