Chapter 23

1.5K 169 5
                                    

Semuanya masih sama seperti kemarin. Adik perempuannya masih terbujur lemah, tak bergerak di atas bangkar rumah sakit. Sebuah perban melingkari kepala dan tangan kanannya, beserta alat bantu pernapasan yang menutupi hidung juga mulutnya. Kesha Aura Kato menghembuskan napas perlahan. Dadanya sesak melihat kondisi Yuki yang cukup parah, akibat insiden di laboratorium kimia kemarin. Tenggorokannya tercekat, dan entah mengapa dia ingin menangis. Namun pada akhirnya, air mata benar-benar jatuh di kedua pipi Kesha. Gadis itu terisak.


Kesha menarik napas yang terasa begitu berat, seakan tak ada udara di sekelilingnya. Entah akan bagaimana hidupnya nanti jika terjadi sesuatu yang buruk pada Yuki. Membuatnya harus kehilangan adik perempuan satu-satunya itu. Kalau sampai hal itu terjadi, ia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri, karena ia telah lalai dan tidak bisa menjaga adiknya.


Gadis berambut hazelnut itu menutup matanya, dia mengguman sebuah doa dalam hatinya. Berharap agar Tuhan mendengarkan rintihan kesedihan hatinya.


"Maafkan aku." Sebuah suara seseorang membuat Kesha menghentikan isak tangisnya, gadis itu menarik napas pelan sembari menghapus jejak-jejak air mata di pipinya. Itu suara lelaki yang ia tahu sangat berarti bagi adiknya. Stefan.

Gadis itu masih menundukkan kepalanya, lensa birunya menatap lantai rumah sakit dengan tatapan kosong. Ia sama sekali tidak menyalahkan Stefan pada peristiwa ini. Sungguh. Kesha justru merasa bahwa dirinyalah yang salah, karena ia tidak ada disaat adiknya membutuhkan pertolongan. Semua itu karena dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya di butik. Kesha mengangkat wajahnya, melihat tepat di lensa hezel Stefan yang menatapnya sendu, gadis berambut hazelnut itu menggeleng pelan.


"Ini bukan salahmu." Jawab Kesha pendek, gadis itu kembali menarik napas. "Aku justru berterimakasih padamu, karena kau bertindak cepat dengan membawa adikku ke rumah sakit."



Kesha menapikkan seulas senyuman tipis pada Stefan selama tiga detik, hingga ia kembali terisak.



Stefan menarik napas, kemudian dia memberanikan diri menyentuh bahu Kesha. "Jangan menangis. Aku berjanji padamu bahwa semuanya akan baik-baik saja. Yuki akan bangun. Aku berjanji."



Kesha menoleh, menatap Stefan dengan matanya yang basah. Sesaat kemudian gadis itu mengangguk pelan, dan kini ia menyadari sesuatu. Stefan bisa menjaga Yuki. Ya, lelaki itu pasti bisa menjaga adiknya.




***



Suara ranting pohon yang diterpa hembusan angin kencang, dan bergesekan dengan genting rumah sakit, terdengar begitu riuh ketika Stefan melangkahkan kakinya, masuk ke ruangan perawatan yang beraroma antiseptik itu. Mata hezelnya menatap pada sesosok tubuh yang terbaring lemah di atas bangkar. Laki-laki itu menarik sebuah kursi, duduk tepat di sisinya dan menarik tangan Yuki yang terkulai lemas. Meraih tangannya yang terlapisi kulit berwarna pucat.



"Boo, bangunlah."




Tidak ada reaksi apapun, dan Stefan harus berusaha kuat untuk menghapus pikiran-pikiran negative yang terlintas dalam benaknya. Dia akan bangun. Batinnya berbisik, membuat lelaki itu kembali menarik napas panjang.



"Kau tahu, Boo? Aku bisa gila jika kau tidak bangun juga. Entah apa yang harus aku lakukan agar kau bangun dari tidurmu. Tidakkah kau sadar telah tertidur selama dua hari, Boo?" Stefan menarik napas panjang, mencoba melepaskan rasa sakit yang dalam dadanya, namun semua itu sia-sia. Dia justru hanya merasa makin sakit. "Aku mencintaimu, Boo. Karena itu, bangunlah dan peluk aku."




Sepi. Tidak ada reaksi apapun. Dan Stefan pun terdiam. Jari-jarinya bertaut dengan jari-jari Yuki yang lunglai, sementara matanya menatap ke lantai. Hatinya terus-menerus menggumankan nama Yuki, berdoa agar gadis itu membuka matanya.




Everything Has Changed [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang