17. Broken To Pieces

1K 106 3
                                    

Semuanya terjadi sangat tiba-tiba, aku sedang di apartemen ku, tertidur, memang tidak nyenyak, aku memiliki banyak pikiran, dan itu termasuk popquiz yang dilaksanakan tadi siang yang aku tahu aku akan gagal mendapat nilai tuntas kalau tidak ada Denov yang, walaupun sudah ku sindir dan marahi, membantu ku. Aku tidak memberi tahunya apapun, mungkin dia pikir, setelah melihat perselisihan antara aku dan Alexander kemarin, dia memiliki kesempatan setidaknya kecil untuk mendapatkan diri ku yang lengah.

Kembali ke saat ini. Pintu ku diketok tanpa henti, juga HP ku yang tak berhenti berdering, untuk sesaat aku merasa ingin membiarkan semua itu berbunyi, tetapi alam sadar mulai kembali. Itu ringtone milik Alexander, dan ini tengah malam. Lalu kepala ku kembali menyambung dengan otak ku. Ayah ku!

"Apa yang terjadi?" Tanya ku dengan suara panik

"Ayah mu flat line" balasnya bersamaan dengan ketokan yang berhenti

"Tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak!" Aku sudah sepenuhnya menangis dalam hitungan detik

"Chloe, kita harus pergi sekarang, buka pintunya" suaranya samar terdengar di telinga ku "Chloe.. Tolong buka pintunya" aku mengangguk pada diri ku sendiri dan membuka pintunya, mematikan sambungan telepon dan memeluk tubuh Alexander dengan spontan. Sungguh aku tidak tahu mengapa aku melakukan itu, tapi kemungkinan karena saat ini hanya ada dia di sana. Hanya sebuah kemungkinan.

Pemakaman ayah ku dilaksanakan cukup cepat, tidak sampai 10 jam kemudian, ayah ku sudah terkubur dalam petinya. Mengejutkannya, banyak sekali pelayat yang datang, aku mengenal beberapa dari mereka dari acara kantor ayah ku, mereka semua mengatakan hal yang sama, antara "kami turut berduka cita" atau "ayah mu adalah pria yang luar biasa dan sangat disukai" semakin banyak yang mengatakan hal itu, semakin aku diyakinkan kalau kalimat itu hanya sekedar kalimat basa-basi.

Saat penguburan tadi, Alexander berdiri tepat di sisi ku, sekarang, aku tidak tahu dimana dia berada, dia menghilang begitu saja, hampir seperti sulap.

Ibu ku berdiri di sisi ku, tidak sekali pun berhenti mengeluarkan air matanya, aku hanya bisa memeluknya dan mengatakan semuanya sudah di atur oleh Tuhan, semuanya akan baik-baik saja. Aku hanya bisa melakukan itu, tidak ada hal lain yang bisa aku lakukan untuknya.

Setelah semua pelayat telah pulang, disana hanya tersisa aku, ibu ku, sang pendeta, dan Alexander yang baru saja kembali muncul entah dari mana. Dengan mengirimkan satu kecupan terakhir ke peti ayah ku, peti tersebut di turunkan ke dalam tanah dan ibu ku berbalik menuju mobilnya. Sementara aku, aku tetap disana sampai pengurus pemakaman selesai mengubur ayah ku. Ini terjadi sangat cepat.

"Kita harus pergi" ucap Alexander menatap langit "sudah hampir hujan"

"Aku masih ingin di sini" ucap ku pelan

"Aku akan kembali dengan payung kalau begitu" balasnya lalu pergi.

Aku merasakan rintik pertama hujan mengenai pipi ku tak lama setelah Alexander pergi. Dan rintik pertama itu dengan cepat berubah menjadi gerimis, tapi sebelum hujan menjadi deras, gerimis berhenti menyirami ku, Alexander telah kembali dengan payungnya.

"Kau tidak harus menemani ku" ucap ku setelah beberapa saat

"Ya, aku harus" balasnya datar "aku tak sengaja berjanji pada ayah mu" lanjutnya menatap makam ayah ku

"Apa kau tahu tentang ayah ku?" Tanya ku menoleh padanya

"Ya" balasnya "salah satu alasan lain kenapa ia menyerahkan mu semudah itu" aku terdiam. Jadi ini bagian dari rencana? Ayah ku tahu kalau ginjalnya tak lagi sekuat normalnya, jadi ia membiarkan Alexander mengambil ku? Apa sulit untuknya melakukan itu?

The Secret Life of The Loveable Daughter (The Secret Life Series #3)Where stories live. Discover now