Unsaid - 08

51.9K 4.6K 105
                                    

 

Kantin adalah tempat paling ramai di SMP dan SMA Nusa Bangsa karena seluruh kelas digabung menjadi satu. Meskipun masih banyak anak SMA yang bergerombol, tapi ada beberapa yang gabung ke anak SMP. Contohnya Pete—pacar Kiera—yang terpaksa ikut berkumpul dengan sahabat-sahabat Mikayla siang ini.

Kiera berdeham, berusaha tampak senetral mungkin di hadapan teman-temannya. “Oke, jadi …, ini Pete. Pacarku. Dan Pete, kenalkan, ini sahabat-sahabatku semua.”

Pete, laki-laki berumur 15 tahun itu memutar bola matanya jengkel. “Kiki, teman-temanmu sudah tahu semua. Dan, please, aku ingin bersama Dani dan lainnya.”

Carmen berusaha untuk tidak tertawa saat itu juga. Taylor menutup mulutnya agar jeritan ngakaknya tidak terdengar. Danies dan Tiffany langsung memasang headset ke telinga. Ammabel tersenyum maklum pada Pete.

Hanya Mikayla yang tidak merespon apa-apa.

Taylor yang pertama menyadari hal itu, “kamu kenapa, Mik?” tanyanya begitu Pete pergi dari gerombolan anak perempuan tersebut.

Mata Mikayla mengerjap, dia baru sadar semua orang memandanginya heran. Dia berdeham. Tidak mungkin dia mengatakan perihal foto tersebut meskipun dia ingin. Masalahnya, dia tidak ingin persoalan ini berbuntut panjang. Semua orang sudah ia minta untuk tutup mulut untuk tidak membocorkan ini pada keenam sahabatnya. Mikayla tertawa garing.

“Aku sedang …, tidak enak badan,” kata Mikayla ragu.

“Bohong,” kata Carmen dengan mata menyipit curiga.

“Senyum kebohongan!” seru Taylor terkejut.

“Bayi kita akhirnya bisa berbohong, WOW!” jerit Kiera histeris, dia berhigh-five dengan Taylor.

Ammabel langsung meredam kericuhan yang dibuat oleh Kiera dan Taylor, “diam dulu, teman-teman.”

“Aku tidak menyangka kau bisa berbohong, Mik.” Kata Danies datar.

Tiffany menyipitkan matanya, lalu tiba-tiba ia bersuara, “foto. Foto semi telanjang Mikayla yang …, ditempel seseorang di mading.”

Serempak semua yang ada di meja bundar tersebut menoleh pada Tiffany. “APA?!” tanya mereka bersamaan. Meskipun Mikayla lebih keterkejut karena Tiffany mengetahui hal itu.

Carmen berdiri, “siapa yang melakukannya?!” tanyanya dengan hidung kembang-kempis.

Oh, astaga.

Terakhir kali Mikayla melihat Carmen seperti itu saat seseorang menjahilinya habis-habisan. Dan hidung orang itu patah dengan tulangnya sedikit retak. Menyeramkan.

“Kita harus membuat perhitungan,” kata Carmen lagi.

Ammabel langsung berdiri, menyentuh bahu Carmen untuk duduk kembali. “Jangan gegabah, Car.”

“Tapi itu sudah keterlaluan!” Carmen menggeram gusar.

Semua orang terdiam karena omongan Carmen benar adanya. Terlebih, tidak ada yang bisa menghentikan perempuan itu jika dia sudah murka. Matanya menyapu ruangan kantin yang sangat besar itu. Pikirannya menajam.

Seseorang yang membuat Mikayla malu pasti berada di sekitar sini …, tersamarkan oleh orang yang berlalu-lalang.

Carmen sangat menyayangi teman-temannya meskipun dia tidak pernah berkata langsung. Terutama Mikayla yang selalu ceroboh dalam segala hal. Dia harus melindungi mereka. Dia tidak ingin sahabat-sahabatnya tersakiti. Dia bersumpah akan menampar orang yang berlaku kurang ajar pada Mikayla.

“Aw!” jerit Mikayla begitu seseorang menarik kerah bajunya kasar.

Kepala Carmen dengan cepat memfokuskan diri pada Mikayla kembali. Alisnya naik sebelah ketika melihat senior perempuan sedang membisikkan sesuatu pada Mikayla. Anggukan ketakutan Mikayla sudah menjelaskan semuanya. Lebih jelas daripada perkataan tenang Tiffany, “dia senior yang menyuruh orang untuk mengambil gambar Mikayla.”

Carmen langsung menerjang, melepaskan cengkaraman senior perempuan itu dari kerah baju Mikayla. Gantian, sekarang Carmen yang menarik kerah baju senior.

Desisan Carmen mampu membuat senior itu mati kutu, “jangan mendekati dia, jangan sentuh dia, jangan ancam dia. Kalau lo melanggar itu semua, dapat kupastikan lo besok masuk UGD.”

Senior bernama Bernadette itu menaikkan dagunya menantang, “oh ya? Atau mungkin setelah gue di UGD, lo dikeluarkan dari sekolah ini?”

“Gue rasa enggak, karena kesalahan yang gue perbuat gak lebih besar daripada lo. Mungkin lo yang siap-siap dikeluarin di sini. Meskipun lo, anak dari ketua yayasan,” Carmen menyeringai pada senior.

Dia tahu senior itu bernama Bernadette, dan Carmen sama sekali tidak takut perempuan culas itu mengadu pada ketua yayasan.

Wajah senior tersebut seputih kertas, Carmen lalu kembali tersenyum. “Setidaknya lo harus lebih pintar melawan orang yang sangat amat baik. Mungkin lo harus lebih jahat?” tanya Carmen, dia mendorong Bernadette hingga terjengkang di lantai marmer yang keras, “sayangnya, orang baik selalu menang.”

“Carmen, stop!” kata Mikayla begitu banyak orang yang menonton mulai menyoraki Bernadette. Dia ingin membantu Bernadette berdiri hingga Michael menyembul dari kerumunan. Menatap marah Mikayla.

“Kayla, kamu ngapain sih?!” tanya Michael marah, mendorong Mikayla menjauh dari Bernadette dan membantu perempuan itu berdiri.

“Kamu gak apa-apa, Na?” tanya Michael pada Bernadette dengan lembut.

Bernadette merangkul pada leher Michael, senyum jahatnya masih bisa terlihat Mikayla. “Aku tak apa. Mungkin Mikayla masih tidak bisa menerimaku …. Aku tahu perasaannya.”

Mata Michael menatap tajam Mikayla, “aku gak nyangka kamu kayak gini, Kayla.”

Dengan begitu, mereka berdua menerobos kerumunan dan pergi. Menyisakan Mikayla dengan hati yang terasa hampa. Taylor menyentuh bahunya, “Mika?” tanyanya takut.

Kepala Mikayla menoleh perlahan. Tapi Taylor sontak terkejut. Kedalam mata Mikayla ….

Tampak hampa …, seolah seluruh oksigen sudah terenggut darinya ….

Kalau  aku bilang, Kak El oksigenku. Berarti dialah orangnya. The one. And only.

                                                                            …

                                                            —The Princess Series—

                                                                            …

-

-

-

NEXT!

ST [2] - UnsaidWo Geschichten leben. Entdecke jetzt