Unsaid - 15

60.3K 5.2K 112
                                    

Mikayla.

Ini hari Sabtu, sudah kebiasaan kami bertujuh untuk bersantai di salah satu rumah. Sekarang, waktunya berada di rumahku. Acara minum teh. Semua sudah datang kecuali Taylor. Cewek yang kurang pede itu pasti masih sibuk bertengkar-ria dengan Axel, tetangga barunya.

Tak lama bel berbunyi, dengan langkah tersaruk-saruk aku membuka pintu rumah. Tampak Taylor dengan wajah yang tak beda jauh denganku. Aku melirik Abel di sebelahnya. Sedang apa cowok kembaran Axel ada di sini?

"Gue mau ke atas, ke kamar Kak Mike," kata Abel, nyengir dan berjalan canggung melewati tangga menuju lantai dua.

"Kamu...?" tanyaku heran. Setahuku, Taylor sangat menyukai Abel. Tapi kenapa dia tampak biasa saja saat ada cowok gebetannya? Aneh.

Taylor mengangkat bahunya, "udah ah. Jangan mikir macem-macem."

Dan dia menarikku menuju teras tempat kami biasa mengadakan acara teh sore.

*

Michael.

Apa yang aku lakukan kemarin suatu kesalahan? Apa aku seharusnya berkata jujur pada Kayla? Tapi bagaimana kalau...

Tidak, semua yang kulakukan benar. Aku harus memberi sekat di hubungan kami berdua. Aku harus bisa menganggapnya seorang adik. Bukan seseorang yang dari dulu kuanggap sebagai calon istriku ... Argh! Aku tidak bisa berpikir jernih sepertinya sekarang.

Dan lagi, aku menangis di depannya. Untungnya Ibu sedang pergi waktu itu. Entah apa kesimpulan yang dia buat ketika melihat kami berpelukan.

Meskipun pada akhirnya, Kayla tertidur di pundakku dan aku juga tidak melewati momen canggung saat pelukan kami terlepas.

Tapi sekarang, di kamar, terlentang menatap langit kamar putih bersih. Aku tidak bisa melupakan hal yang sudah kami lewati bersama. Aku tidak pernah menganggapnya adik, aku selalu memeluknya seolah dia pacarku. Aku selalu mencium keningnya seakan dia barang porselain yang mudah pecah. Dan dulu, aku pernah mencium bibirnya saat dia tidak sadar...

Intinya, aku menyedihkan.

Ini lebih sakit dari orang-orang yang terkena friendzone. Ini lebih parah daripada itu. Karena pada kenyataannya, aku dan Kayla tidak akan pernah bersatu.

Tidak akan pernah.

"Bro," suara berat dari arah pintu membuat bola mataku bergerak.

Abel, bersandar pada kusen pintu dan berjalan setelah mendapat perhatianku.

"Ngapain lo di sini?" tanyaku.

Dia Abel, salah satu teman sekolah Mikayla yang kebetulan juniorku di klub basket. Dia digilai banyak perempuan, entah pake pelet apa. Abel Damaryan yang terkenal dingin dan cuek pada siapa saja ternyata orang yang cukup asik.

Baru-baru ini kudengar dia punya kembaran yang datang dari London. Tapi bisa saja salah. Namanya juga isu.

"Axel, si kembaran nyebelin gue itu nyuruh gue ngejaga Taylor," jawabnya bosan dan ikut menghempaskan diri di sampingku. "Gila, padahal cewek itu gak kenapa-kenapa."

Aku tertawa. Jadi isu itu benar. Nama kembarannya ternyata Axel. Pasti cowok itu suka pada si imut Taylor. "Emangnya lo gak suka sama Tay?" tanyaku iseng.

Wajah Abel memerah, "gila. Yang bener aja. Mending sama samson sekalian daripada dia."

"Ati-ati suka. Kalo suka, jangan nangis di depan gue ya," kataku memanas-manasi.

Karena, meskipun Taylor gendut, dia punya daya tarik tersendiri untuk memikat hati siapa saja. Yah, walaupun perempuan itu tidak pernah menyadarinya.

ST [2] - UnsaidDonde viven las historias. Descúbrelo ahora