Unsaid - 16

53.6K 4.7K 117
                                    

Mikayla.

"Kei, kita perlu bicara. Sekarang," Kei menatapku tepat di mata sebelum mendengus.

"Gak ada yang perlu dibicarain," kata Kei, melepaskan tanganku kasar dan berjalan menjauh.

Aku mengejarnya. Menarik nafas dan berusaha untuk tenang.

"Kei, kenapa sih, kamu ngejauhin aku?" tanyaku tepat sasaran. Karena sehabis itu Kei berhenti berjalan. Membeku sesaat di tempat.

Tapi dia tidak menjawab apa-apa.

"Kei, aku temen kamu." kataku gusar sambil mengejarnya lagi.

Dia tetap diam dan mempercepat langkah kakinya.

"Kei, maafin aku kalo ada salah."

Kurasa ini percuma. Kei tetap berjalan tanpa menggubrisku sama sekali.

"Kei. Kei! Please," aku tidak perduli beberapa pasang mata melihat kami. Aku hanya meminta penjelasan darinya. Tapi kenapa dia ...

"Mika!" Bentakan Kei membuatku berhenti memanggilnya. Terdiam. Meskipun aku tahu di sini bukan hanya ada aku dan Kei. Tapi perhatianku berpusat pada kedua mata cokelatnya, "gue gak dalam kondisi buat ngomongin ini. Please, tinggalin gue. Ngerti lo?"

Kei berubah.

Everything has changed.

*

Siang ini Mama menyuruh kami berdua untuk membersihkan ruang perpustakaan di rumah. Memang ruang perpustakaan dibersihkan rutin tiap minggu, karena Mama orang paling bersih yang pernah aku tahu. Karena Bi Dar sedang pulang kampung, jadi Mama meminta kami membersihkannya.

Kalau kau bertanya siapa kami, jawabannya aku dan Kak El.

"Buku yang ini taro di situ," kata Kak El, menyorongkan buku padaku dan aku berjalan kikuk ke arah tunjukkannya tadi.

Aku tidak tahu harus berkata apa saat bertemu, jadi lebih baik aku diam.

"Kay," Kak El menaruh buku ke rak paling atas di sebelahku. Jadi, aku sama sekali tidak bisa melihat ekspresi wajahnya waktu memanggilku. Aku pendek, kalau kau lupa.

"Hm?" jawabku tak acuh, buku yang ini dimasukkan ke yang situ. Ini yang ke sana. Yayaya, perhatianku sudah teralih kan?

"Waktu itu, aku..." kudengar Kak El menghela nafasnya gusar, "aku minta maaf."

Gerakan tanganku seketika berhenti. Aku menengok, hanya untuk melihat Kak El mengacak rambutnya dan menghempaskan diri di sofa.

Sambil menyeret ember berisi air sabun, aku ikut menghempaskan diri di samping Kak El. Menghela nafas. Sebenarnya dengan Kak El meminta maaf, kecanggungan ini semakin naik ke permukaan.

Aku menengok pada Kak El yang menatap lurus ke depan. Melihat wajahnya dari dekat ini sangat jelas. Tapi kenapa ada sesuatu yang ... janggal?

Wajahnya tidak mirip denganku.

Atau itu hanya pemikiran begoku yang kesekian kali saja.

"Kak, aku-"

"Ini semua salahku," kata Kak El cepat, menengok padaku hingga aku tidak sempat berpaling.

Dengan jarak sedekat ini, aku tidak bisa tidak mencium bau peppermint darinya.

"Aku selalu ngebuat semuanya kacau," Kak El tersenyum miring.

Refleks, aku menggeleng. "Enggak bener, Kak. Aku-"

Kak El mencium dahiku, "yuk kerja lagi. Nanti Mama pulang dia marah." Lalu dia berjalan menjauh dan memunggungiku.

ST [2] - UnsaidWhere stories live. Discover now