13. MY HEART HAS BEEN YOURS

26.9K 2.4K 128
                                    


'Untuk apa... / Untuk apa cinta tanpa pembuktian / Untuk apa status kita pertahankan / Bila sudah tak lagi... cinta...'


SUARA Maudy Ayunda mengusik lamunan Pamela, membuat gadis itu menghela napas lelah. Dia menarik pandangan dari keruwetan ibukota di Sabtu pagi, kemudian berakhir pada sepasang kekasih yang duduk di depannya. Ditatapnya tajam radio digital yang masih mengalunkan lagu 'Untuk Apa' itu. Liriknya seakan menyentil hati Pamela. Menyindirnya. Hubungannya dengan Erga, lebih tepatnya. Ya ya, Pamela sadar, tidak ada yang layak dia persalahkan di sini. Baik Via maupun Banyu, terlebih benda tidak berdosa yang melekat di dasbor—pun penyiar radio yang memutuskan memutar lagu tersebut di tengah kegundahan hatinya.

Besok tepat dua minggu sudah Pamela dan tunangannya itu tidak berkomunikasi. Erga benar-benar menepati janjinya. Janji yang dibuat karena Pamela sendiri yang meminta. Jadi, siapa yang bisa dipersalahkan? Erga yang menepati janji, kah? Atau dirinya yang meminta Erga untuk berjanji seperti itu? Sungguh, Pamela tidak tahu. Pertanyaan siapa yang patut dipersalahkan itu, selalu saja membuat kepalanya pening. Atau..., mungkin sebaiknya dia hanya perlu berhenti melihat siapa benar, siapa salah. Pamela hanya perlu fokus pada... perasaannya. Perasaan Erga padanya. Perasaan mereka untuk satu sama lain. Masih adakah cinta itu? Masihkah perlu mereka berjuang bersama?

"Mbak La, nanti baliknya sama siapa?"

"Kenapa memangnya, Vi?"

"Nggak, kalau memang nggak bareng siapa-siapa, biar nanti Banyu jemput lagi aja, Mbak."

"Memangnya nggak merepotkan, Nyu?"

Banyu berusaha membagi pandangan, antara mengemudi dan membalas tatapan calon kakak iparnya melalui kaca spion tengah. Kemudian laki-laki itu menggeleng. "Sekalian lewat kok, Mbak."

"Mmm..., nanti biar Mbak hubungin kamu aja, Vi. Mbak belum tau juga ini."

Bohong! Pamela jelas tahu betul. Hari ini pastilah tidak ada bedanya dengan hari-hari yang telah dia lalui. Pamela akan pulang seorang diri. Naik busway, atau apa pun itu. Seakan-akan dia tidak memiliki kekasih. Terlihat mencolok di antara teman-teman kantornya—yang selalu dijemput pasangan masing-masing selepas jam kantor usai.

"Lagian juga, bukannya kalian biasanya langsung pergi jalan, ya?"

Via memutar tubuh ke arah belakang. "Ya nggak apa-apa, Mbak. Kita nggak masalah kok antar Mbak dulu. Ya 'kan, Nyu?"

Banyu mengangguk-angguk saja pada pertanyaan kekasihnya itu. Gemas, menggunakan tangan kirinya yang bebas, laki-laki itu mengacak pelan rambut Via. Membuat Via tersenyum malu-malu, dengan rona merah muda tercetak di kedua pipinya. Berbanding terbalik dengan Pamela. Gadis itu mengerucutkan bibir, lantas membuang pandangan ke luar. Mendapati puluhan pengendara roda dua saling salip. Tidak sedikit pun memedulikan kendaraan lain yang mereka lalui, bahkan mobil-mobil yang menekan klakson hingga nyaris memekakkan telinga.

Lima menit kemudian, Toyota Rush milik Banyu berhenti dengan sempurna di pelataran parkir PT. Soedirja Indonesia Logistic. Sebelum keluar, Pamela berpamitan dan mengucapkan terima kasih lebih dulu—yang dibalas Via dengan mengingatkan kakaknya itu sekali lagi, untuk tidak lupa menghubunginya. Pamela mengangguk saja. Tidak ingin mengatakan jawaban yang jelas-jelas sudah dia putuskan.

Dengan gerak tubuh diusahakan sesantai mungkin, Pamela menyusuri jalan menuju lobi. Tepat ketika sepasang kaki dibalut black platform pump itu menjejak lantai lobi, seseorang memanggil namanya.

"Hai, La."

Sudut bibir Pamela refleks mengembang melihat seseorang yang menyapanya tersenyum teramat menawan, meskipun napasnya terdengar belum stabil. "Selamat pagi, Haf," balasnya, kemudian kembali berbalik, dan melanjutkan langkah. Dilihatnya melalui ekor mata, Hafez berusaha menyeimbangkan langkah.

TREAT YOU BETTER (Ledwin Series #2)Where stories live. Discover now