25. DON'T SAY THIS IS THE LAST

22.5K 2K 327
                                    


THE House of Raminten, Kota Baru, Yogyakarta.

Satu alis Alpha melengkung naik. Sepasang matanya menyisiri deretan tulisan yang terpampang besar di hadapannya. 'Kami ini semua lulusan "SLB" kalo agak lama harap maklum karena kami kenthir'. Menggeleng kecil diiringi decakan, dialihkannya pandangan. Kali ini pada papan peringatan berwarna kuning dengan tinta hitam. 'Mohon perhatian! "Barang" Anda (handphone, dompet, sisir, kacamata, tas, mantel, jas, jaket, topi, gergaji, alat pancing, setrika, dll) supaya jangan sampai ketinggalan. Kehilangan bukan tanggung jawab kami'. Lagi, sebuah decakan pelan terlontar dari sela bibir laki-laki itu.

Memutar tubuh, dibiarkannya pandangannya berkeliling mengagumi betapa unik, antik, dan elegan konsep yang diusung restoran tradisional ini. Bukan hanya dengan kata-kata yang seakan sengaja dibuat agar para pengunjung tidak bosan menunggu, tetapi juga dengan kursi tunggunya sendiri—yang mana mengingatkan Alpha pada kursi tunggu stasiun, alih-alih kursi tunggu yang biasa disediakan di rumah makan pada umumnya. Seakan tak cukup, dua buah kereta keraton dan beberapa foto pemilik restoran berdandan ala wanita Jawa, lengkap dengan kebaya dan sanggul—yang dikenal sebagai sosok Raminten, juga memeriahkan area ruang tunggu.

Menilik kembali sejarah, 'Raminten' yang menjadi bagian dari nama restoran tradisional ini diambil dari tokoh 'Raminten' yang diperankan sang pemilik The House of Raminten dalam sebuah program berjudul 'Pengkolan' yang pernah tayang di stasiun Televisi Republik Indonesia. Sosok yang kemudian berperan besar dalam perjalanan bisnis berliku dalam mengembangkan usaha ini.

"Al."

Di tengah alunan gending Jawa, Alpha mendengar namanya dipanggil. "Kenapa, Yang?"

Pamela berjalan ke arah Alpha. "Ayo. Sudah ada meja kosong." Dikaitkannya tangan kirinya pada lengan laki-laki itu, lantas keduanya berjalan bersisian memasuki bagian inti dari restoran tersebut—dipandu seorang pramusaji wanita mengenakan pakaian batik bermodel kemben.

"Unik," bisik Alpha. Sebisa mungkin hanya didengar gadis di sisinya.

"Tas pinggangnya?" Pamela menanggapi. Ada tawa tertahan terdengar kemudian.

"Semuanya. Hebat banget. Saya jadi kepikiran, nanti kalau sudah pensiun, jadi pengin punya usaha rumah makan dengan konsep nggak biasa begini." Bola mata Alpha memuaskan pandangan terhadap apa pun yang dilewatinya. "Itu batiknya dijual?" tak dapat ditahannya diri untuk tidak bertanya kala melihat seorang wanita yang tengah asyik membatik.

"Setau saya iya. Tau Mirota Batik Malioboro?" Pamela mendengak, mencari tahu reaksi lawan bicaranya. "Nah, katanya, sih, dijual di sana."

Alpha manggut-manggut. Rasanya tidak menyesal menyetujui ajakan gadis itu untuk berjalan-jalan keluar hotel. Padahal niat awal Alpha hanya ingin leyeh-leyeh saja di sisa hari ini, setelah melewati rapat lumayan alot dengan klien yang berkantor pusat di kota ini.

Sesampainya di meja yang disediakan untuk mereka, dengan empat kursi berbahan bambu—yang lagi-lagi tak biasa, di mana kaki-kaki kursi tersebut tidak ada, hanya ada sandaran dan alas untuk duduk meleseh. Segera saja Alpha dan Pamela mengambil posisi duduk berseberangan. Dua buah buku menu—bersampul hitam dengan nama restoran bertinta putih tercetak di sana—diserahkan pramusaji wanita itu pada keduanya.

"Es kelapa muda tamanan-nya satu, terus...." Pamela membolak-balik buku menu, tiba-tiba saja sebuah ringtone ponsel terdengar. Mengangkat wajah, rupanya berasal dari ponsel laki-laki di seberangnya. Praktis, sebelah alis gadis itu terangkat.

"Saya angkat ini dulu," izin Alpha.

Pamela mengangguk, kemudian kepalanya meneleng ke arah pramusaji. "Tambah wedang pajimatan satu, Mbak. Mmm..., itu dulu, deh. Nanti untuk makannya, saya panggil lagi. Masih nunggu teman satu orang lagi."

TREAT YOU BETTER (Ledwin Series #2)Where stories live. Discover now