[15]

12.3K 527 204
                                    

BAGIAN LIMA BELAS

***

Kejadian tadi malam masih terbayang dalam koridor ingatan. Penjelasan guru biologinya ia abaikan dengan senyuman-senyuman bahagianya. Olive yang duduk di samping Sheila, sesekali bergedik ngeri melihat tingkah Sheila yang berubah.

Dan akhirnya, setelah guru itu selesai menjelaskan materi tentang “Virus” beserta jajarannya, bel pulang akhirnya menggema dari toa sekolah, membuat yang mendengarnya menghela napas panjangnya. Setelah guru itu keluar dari kelas, Olive sudah mengumpulkan berbagai pertanyaan untuk Sheila.

“Lo kenapa sih Shel?” Tanya Olive spontan.

“Hem, cerita nggak ya,” ucap Sheila menggantungkan kalimatnya. “nggak ahk, gue masih kesal sama lo karena dengan seenak jidat lo, lo bilang nggak jadi,” sambung Sheila dan memutar bola matanya kesal.

“Ish, apa rencana lo sama Kak Adam berhasil?” Olive mempertanyakan itu tanpa sadar.

“Maksud lo?” Sheila menyandangkan tasnya. “apa jangan-jangan ini rencana lo sama dia?” tebak Sheila dengan mata tajam.

“Emang iya,” jawab Olive datar.

“Hah? Seriusan?” Sheila membulatkan matanya tak percaya.

Buru-buru Olive menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Ia sangat tidak sadar dengan apa yang diucapkannya.

“Kok bisa?” tanya Sheila penasaran dan mengguncang-guncang bahu Olive, menuntuk penjelasan secara paksa.

“Pfft, ya bisa lah. Kan kemarin di kantin gue di panggil tuh sama Fadila, ternyata dia bilang ke gue supaya nyuruh lo siap-siap pergi sama gue, yang sebenarnya Kak Adam mau ngajak lo jalan-jalan,” jelas Olive yang benar-benar membuat jantung Sheila gila-gilaan.

“Ish, bisa ya lo ngerjain gue,” ujar Sheila kesal.

“Tapi lo senang kan, bisa baikan sama dia.” Olive melemparkan senyuman miringnya. Sheila membalasnya dengan senyuman simpulnya.

“Udah yuk, pulang bareng gue,” ajak Sheila sembari berjalan keluar dari kelas.

“Maaf deh, gue pulang sendiri dulu ya, nanti gue kabarin deh lo kalau gue udah sampai. Untuk hari ini, lo sendiri aja ya?” tolak Olive.

“Ya udah deh, gue mungkin pulang sama Adam,” harap Sheila dalam-dalam.
“Serah,”

Olive dan Sheila sudah sampai di daerah parkiran. Saat matanya menyipit untuk mencari keberadaan Adam, hatinya memanas seketika. Pandangannya menangkap Adam bersama Misyel yang saling tertawa, membuat Sheila menghentikan langkah kakinya. Hatinya terasa tercabik saat itu juga. Membuat Olive yang berada di sampingnya juga ikutan berhenti.

Arah mata Sheila belum lepas dari objek tersebut, membuat Olive memegang lengan Sheila untuk segera pergi, namun Sheila menghentikannya.

“Gue mau lihat dulu, bagaimana sikap lelaki yang sangat gue percayai saat ini. Apa dia masih ingat gue dalam hidupnya atau sebaliknya,” ucap Sheila tegas.

“Ini cuma akal-akalan Misyel buat lo emosi,” kata Olive.

“Hem, dan masalahnya gue nggak emosi kan?” Sheila tersenyum sinis menatap Adam dan Sheila yang kemudian menjauh dengan mobil milik Adam.

“Mereka udah pergi juga, yaudah yuk!” ajak Olive kemudian.

Sheila dengan susah payah menutupi kemarahan dan matanya yang mulai memanas. Karena ia sangat yakin, apapun yang dilakukannya hanya akan membuatnya kalah.

***

Olive menahan air matanya sepanjang perjalanannya di dalam taksi. Lagu-lagu yang didengarnya melalui earphone ponselnya tidak dapat menghibur kepiluannya dalam hati. Ia berencana untuk pergi ke pemakaman Ayahnya yang sudah lama dipanggil Tuhan.

Saat taksi itu menepi, Olive yang masih dengan seragam sekolahnya turun dari kendaraan itu. Perlahan, langkah kakinya menyusuri satu-persatu gundukan tanah. Dan tak lama, ia menemukan satu gundukan tanah makam Ridwan—ayah Olive. Olive mengembangkan senyuman getirnya.

“Ayah,” panggilnya lirih sambil memegangi batu nisan yang tertera nama Ridwan, tanggal kelahiran dan tanggal kematiannya.

“Olive kangen Ayah. Ayah baik-baik aja kan,” bulir air mata Olive mulai turun dari pelupuk matanya.

Ayah, Bunda sedang sakit. Sekarang Bunda lagi di rumah sakit, dan harus ngejalanin operasi. Tabungan Bunda cuma ada setengah dari harga operasi itu, sekarang Olive harus kayak mana?” tanya Olive dengan nada sedikit putus asa.

“Ayah, Olive takut.”

Setelah beberapa menit mengeluarkan keluh kesahnya, Olive bangkit dari makam itu. Kemudian berjalan ke rumah sakit, untuk menjenguk Bundanya yang sedang sekarat seminggu ini.

Menempuh perjalan setengah jam, Olive sudah sampai di depan gedung rumah sakit. Langkahnya kemudian menuju ruang kamar inap Yanti—Bunda Olive.

Olive duduk di samping Yanti. Ia mengambil tangan Yanti dan menggenggamnya lembut. Wajah pucat Bundanya membuat ia sedikit khawatir. Dokter terus menyarankan untuk segera melakukan operasi, sebelum semuanya terlambat. Namun, Olive belum bisa menyetujui itu karena faktor biayanya.

Olive menatap sendu Bundanya.

“Bunda jangan tinggalin Olive, ya.”

***

My Bad Girl RomanceWhere stories live. Discover now