[24]

2.2K 105 0
                                    

Bagian Dua Puluh Empat

***

Abraham—papa Sheila—sedang berbincang-bincang dengan pemuda yang umurnya masih bisa dibilang muda. Setelah perusahaan Abraham ingin bangkrut karena kekurangan dana dan harga saham yang harganya sudah meloncat tinggi. Berharap bahwa perusahaan pemuda di hadapannya ini ingin membantu menyuntikan dana ke perusahaan Abraham.

Meeting dilakukan kali ini di sebuah ruang di hotel yang sudah dipesan jauh hari oleh Abraham, agar meeting-nya kali ini dapat berjalan dengan lancar dan menarik perhatian. Dan di sini, hanya terdiri dari dua orang. Abraham dengan clien-nya.

"Jadi begitu kira-kira penjelasan saya," ucap Abraham setelah berbicara panjang-lebar mengenai perusahaannya.

"Hm, beri saya waktu untuk berpikir sejenak." Suaranya begitu dingin dan datar, baju yang dipakainya pun terlihat casual.

"Baiklah. Saya permisi dulu untuk ke kamar mandi sebentar," pamit Abraham dan beranjak dari tempat kursinya, lalu berjalan menjauh setelah David mengangguk dua kali.

David yang pemikirannya sudah bisa dibilang dewasa, tampak mempertimbangkan keputusan yang akan ia ambil selanjutnya. Suara ponsel yang tidak jauh dari jangkauan David, seketika membuyarkan lamunan dan jalan pikiran David.

David mengikuti arah suara ringtone ponsel tersebut.

'Ternyata handphone Pak Abraham,' batin David setelah melihat ponsel berwarna hitam itu terus saja berbunyi, dengan volume pelan tapi cukup terdengar oleh David.

David menjadi penasaran saat ponsel itu tidak berhenti-henti. Akhirnya, David mengambil ponsel tersebut.

Sheila's is calling...

David mengerutkan keningnya saat ada nama Sheila di sana. Tidak asing. Begitu pikir David.

Sebelum David ingin menjawabnya, tapi ia kalah duluan saat sambungannya terputus. Pikiran David semakin yakin saat wallpaper di ponsel Abraham adalah foto Sheila. David memutar pikirannya sambil mengingat wajah dan nama itu. David memejamkan matanya dan berpikir keras.

"Satu hal yang lo harus ingat, meremehkan orang lain adalah kesalahan terbesar dari seorang pengecut. Lain kali, jangan pernah meremehkan gue dan ataupun itu. Dan semoga kita nggak akan pernah ketemu," ucap Sheila dengan berbagai penekanan disetiap kalimatnya, menusuk relung hati David.

"Gue mau nantang lo lagi!" pinta David tegas.

"Sorry, sayangnya gue udah niat. Ini yang terakhir kalinya gue balap. Gue bakal ninggalin dunia liar ini." Sheila menggantung kalimatnya. "jadi, kita nggak bakal dan nggak akan pernah ketemu lagi." ujar Sheila dan kemudian berlalu.

David membuka matanya dan mulai ingat siapa Sheila.

"Dia cewek waktu itu. Yang ngalahin gue dulu," gumam David pelan dengan kerutan di keningnya yang semakin jelas.

Untuk beberapa detik, David tertegun sejenak. Dan David juga masih mengingat, betapa ia ingin bertemu dengan Sheila dan berusaha mengalahkannya. Entah pemikiran darimana, David memiliki ide yang bisa dibilang gila. Senyuman miring sembari berharap-harap rencanya menjadi kenyataan dan berjalan lancar.

Abraham kembali setelah David meletakkan ponsel yang tadi ia genggam ke tempatnya semula. Dan juga, David sempat mengambil satu foto Sheila dari ponsel Abraham.

"Maaf lama," ucap Abraham dan menarik kursinya untuk duduk.

"Tidak apa-apa." David tersenyum.

"Bagaimana tentang perusahaan? Apa David sudah memutuskannya?"

David mengeratkan kedua telapak tangannya di atas meja. "Saya mendengar Bapak punya anak perempuan." Kata David.

Abraham mengangguk. "Benar. Saya punya putri tunggal. Namanya Sheila." Jelas Abraham secara singkat, namun tiba-tiba hatinya merasa teriris perih. Putri satu-satunya yang sangat jauh dengan dirinya sekarang.

"Ini memang akan sedikit terlihat aneh. Sebenarnya, saya pernah bertemu dengan putri Bapak. Saat itu, saya sudah mulai menyukainya. Gimana kalau saya dan putri Bapak untuk bertunangan?" David mengeluarkan kata-kata yang sulit untuk dipahami Abraham.

Abraham menyatukan alisnya. "Tapi anak saya masih sekolah kelas sepuluh. Bagaimana mungkin dia bertunangan saat sekolahnya belum selesai?" Tanya Abraham seperti seorang Ayah.

"Kontrak." David menjawabnya dengan singkat. "Dengan kontrak. Saat Sheila sudah tamat sekolah, saya dan Sheila akan bertunangan."

"Jadi, anak saya akan mulai terikat dengan perjanjian kontrak dengan kamu selama hidupnya?"

David mengangguk. "Jangan diputuskan sekarang. Saya akan memberi Bapak waktu untuk memutuskannya," ucap David dengan senyuman.

Abraham tidak mungkin bisa memutuskannya sendirian. Ia harus berbicara pada Sheila dan berusaha menjelaskan keadaan situasinya sekarang. Abraham benar-benar berada di posisi delima.

Menjadi seorang ayah untuk putrinya atau seorang pengusaha sukses yang melibatkan putrinya sendiri.

Itu bukan pilihan. Tapi keharusan yang membuat Abraham sulit untuk bernapas dengan normal, mulai sekarang.

***

My Bad Girl RomanceWhere stories live. Discover now