Bab 2 - Dario

82 11 8
                                    

Cara.

Sudah sekitar sepuluh tahun bi Lilis dan pak Johor, suaminya, tinggal dan bekerja di rumah kami. Anaknya yang paling besar, Mas Arkan, yang tahun ini akan berulang tahun yang ke dua puluh lima, mendapat beasiswa kuliah di Jerman, dan sudah tinggal di sana sejak satu tahun lalu. Dan Dinda, adiknya yang masih SMA masih tinggal bersama kami, dan kadang membantu bi Lilis di dapur. Aku tidak begitu dekat dengan Dinda, karena dia pemalu, dan aku orangnya kaku.

Malam itu, aku tiduran di kasur setelah menghabiskan makan malam yang satu jam lalu di antar oleh bi Lilis. Aku tidak banyak mengobrol dengannya karena tahu bi Lilis sedang repot di dapur karena ada tamu. Sambil membaca komik lewat ponselku, aku menarik selimut sambil memosisikan tubuhku senyaman mungkin, menenggelamkan seluruh badanku sampai pundak, seolah-olah merasa kedinginan.

Di tengah serunya aktivitasku membaca komik, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarku dan meminta izin untuk masuk. Aku langsung menaruh ponselku di meja tidur, dan mempersilakannya.

Tak lama, setelah kenop pintu diputar, muncullah papa, mama, kak Luisa, dan tiga orang tamu papa yang dua di antaranya ternyata aku kenal. Sambil menyunggingkan senyum ramah, aku segera berdiri dari posisiku yang tengah rebahan dan menyapa tamu itu, "Malam Om Rangga, Tante Donna. Ara gak tahu kalau ternyata tamu papa itu Om sama Tante." Aku mengulurkan tanganku, meminta om Rangga dan tante Donna yang merupakan sahabat papa dari zaman SMA untuk mengulurkan tangan mereka, sambil sejurus kemudian aku menciumnya. "Maaf Om, Tante, Ara gak ikut makan malam bareng tadi," imbuhku lagi menyesal.

"Gak apa-apa sayang, katanya kamu lagi sakit? Sakit apa?" jawab tante Donna yang langsung balik bertanya.

Aku tersenyum kecil, sambil kemudian mengarang, "Biasalah Tante, rutinitas cewek tiap bulan." Dari sudut mataku, aku melihat papa, mama, dan kak Luisa membuang muka seolah tidak mendengar obrolan ini. Mungkin mereka merasa bersalah padaku karena secara tidak langsung menyuruhku untuk berbohong. Atau mungkin karena mereka tidak nyaman berlama-lama berada di kamarku yang berantakan, mengingat bahwa kamar ini adalah area yang tidak pernah mereka masuki selama beberapa tahun ini. Entah kenapa dan aku pun tidak peduli.

Tapi di ujung mataku yang melirik ke arah kiri, ke arah sofa abuku yang berada di dekat lemari buku, aku mendapati sosok pria berumur pertengahan dua puluh tengah mengambil tempat di atasnya setelah sebelumnya mengangkat Luna yang tengah tertidur, dan kemudian memangku kucingku itu di atas pangkuannya. Sama halnya seperti semua orang di tempat itu kecuali aku, dia berpakaian rapi, mengenakan kemeja putih yang dimasukkan ke dalam celana slim-fit khaki berwarna hitamnya yang menggantung di atas whole-cut suede loafers berwarna senada. Rambutnya dipotong pendek rapi model short slick part. Aku tidak mengenal dia, sejauh aku mengenal om Rangga dan tante Donna, aku belum pernah melihatnya. Sekalipun.

Melihat aku tengah memperhatikan pria itu, om Rangga kemudian berkata, "Semenjak umur kamu lima tahun lalu, kamu sudah gak pernah lagi ketemu sama Dario kan?" Aku ingat pernah mengenal anak bernama Dario itu. Seingatku, dia adalah putra om Rangga dan tante Donna yang kemudian tinggal bersama dengan neneknya di Malaysia. Aku pernah bermain bersama dengannya dan kak Luisa dulu. Namun hal itu bukan sesuatu yang penting, mengingat ketika itu aku hanya menjadi pengganggu mereka berdua. Menjadi pihak yang disuruh menutup mata dan mencari mereka berdua yang bersembunyi. Aku juga ingat ketika dia mengatakan bahwa kak Luisa cantik dan aku jelek.

Tanpa perlu diberitahu, aku sudah bisa menebak bahwa om Rangga akan mengatakan bahwa pria itu adalah Dario. Dan sambil memutar mataku malas, aku kembali mengalihkan mataku darinya, kembali memperhatikan om Rangga yang tengah berbicara, "Dia Dario." Tepat seperti dugaanku.

Dario berdiri dari duduknya, sambil menggendong Luna di pundaknya, dia menghampiriku sambil tersenyum dan mengulurkan tangannya, meminta untuk disalami. "Hai Ara, lama tidak jumpa," sapanya ramah.

An Apple for CaraWhere stories live. Discover now