Bab 11 - Peck

29 3 17
                                    

Dario.

Sebenarnya hari ini aku masih dalam masa izin kerja karena trauma penyakitku. Sekalipun keadaanku kini sudah sangat fit dan mampu untuk bekerja, papa dan mama melarangku untuk pergi. Tidak salah memang, karena memang orang tua selalu mengkhawatirkan anaknya bukan? Terlebih aku adalah anak semata wayang yang dulu sempat berada dalam keadaan kritis yang menyedihkan dan hampir kehilangan nyawa.

Kedua orang tuaku tidak menginginkan hal lebih dariku selain dari mewujudkan harapan-harapan mereka; meneruskan bisnis keluarga, dan hidup bahagia. Karena sedari kecil sudah dibebani takdir bahwa aku harus meneruskan perusahaan papa, aku dididik penuh disiplin. Memanjakanku dan menuruti semua keinginanku tidak akan membuat mentalku kuat untuk menggeluti dunia ini nanti. Namun meskipun begitu, mengingat bahwa aku pernah menjadi anak malang yang masa kecilnya banyak terbuang sia-sia di atas kursi roda, mama dan papa selalu memberiku kebebasan sebesar-besarnya untuk melakukan apa pun yang aku mau. Dan kedua hal itu, tanpa aku sadari, membuatku menjadi anak yang cukup mandiri di usiaku, menjadikanku seseorang yang bebas namun tetap memiliki tanggung jawab.

Dan kini, di usia yang orang bilang masa emas seorang laki-laki, aku sadar bahwa aku telah jatuh pada pesona seorang gadis yang sudah sedari dulu aku kenal, dan bahkan pernah aku benci setengah mati. Aku pernah mengalami hal seperti ini—jatuh cinta—pada banyak wanita dulu, namun tidak seperti sekarang ini rasanya.

Sebenarnya terlalu cepat bagiku untuk menyimpulkan bahwa yang kini tengah aku rasakan pada gadis itu adalah cinta. Karena pada dasarnya sekarang pun, aku masih belum begitu yakin pada perasaan ini. Aku mengasihaninya dulu, mengkhawatirkannya, dan sekarang malah merasa nyaman setiap kali berdekatan dengannya. Ada rasa ingin melindungi, seperti layaknya seorang kakak pada adiknya, namun juga ada rasa kagum padanya atas keteguhannya terhadap apa yang telah ia alami dulu sampai sekarang.

Hari ini, selain karena suara hatiku yang terus menerus mendesakku untuk segera kembali bertemu dengannya, gadis itu pun, kini tengah membutuhkan hiburan dan penyegaran atas masalah yang baru saja hinggap dalam hidupnya. Dan akhirnya karena dua alasan itu, aku memberanikan diriku untuk mengajaknya pergi keluar. Dan syukurnya, ia setuju. Tidak peduli dengan masa istirahatku, jiwaku juga butuh penyegaran bukan?

Setelah lama memilih baju dan sempat terjebak macet kecil yang terasa seperti bertahun-tahun, akhirnya aku sampai di depan rumah gadis itu, di depan rumah Cara. Sebelum melangkahkan kakiku keluar dari mobil, aku sedikit menggeser posisi kaca spion depan menghadapku, berkaca menatap wajahku, mengecek apakah ada sesuatu yang kurang atau tidak rapi pada wajah dan rambutku.

Padahal hanya akan pergi ke mal, namun aku benar-benar sangat pemilih hari ini. Setelah bingung hendak mengenakan apa, pilihanku jatuh pada kemeja biru tua, jeans tua biru langit hadiah ulang tahun dari mama, dan loafers hitam suede yang jarang sekali aku pakai karena merupakan salah satu koleksi berhargaku. Cukup kasual dan tidak nyentrik, namun tetap gaya. Beruntung aku kerja di perusahaan majalah dan jadi pimpinan di rubrik fashion, setidaknya aku bisa mendandani diriku supaya tidak terlalu memalukan. Thanks a lot dad.

Aku berjalan menuju teras rumah, dan mengetuk pintunya kencang, sebelum kemudian tante Diani membukanya, dan memintaku untuk masuk dan menunggu di ruang tamu. Aku mengangguk sambil tersenyum dan mengekor di belakang tante Diani.

"Mau minum apa Yo?" tanya tante Diani padaku.

Aku dengan cepat menggeleng, sambil kemudian menjawab, "Tidak usah Tante, aku gak begitu haus."

"Yakin?"

Aku mengangguk pasti.

"Ya sudah, Ara juga bentar lagi turun kayaknya," ucap tante Diani lagi. "Tunggu saja ya, kalau ada apa-apa, tante ada di ruang tengah."

An Apple for CaraWhere stories live. Discover now