Bab 5 - Ushinara

56 8 0
                                    

Author's Note: Maaf karena merusak tipografi dengan memunculkan pesan ini di awal cerita. Saya ingin meminta maaf jika penceritaan dalam bab ini kurang mengena. Terima kasih.

Dario.

Tidak seratus persen salah, jika aku mengatakan bahwa malam tadi adalah salah satu malam paling melelahkan dalam tahun-tahun terakhir ini. Sekalipun aku pernah merasakan yang lebih parah dari itu sebelumnya, namun sepertinya Tuhan berusaha untuk mengingatkanku agar lebih bersikap tahu diri, dan tidak melupakan masa-masa kelam yang pernah aku lalui dulu.

Meskipun begitu, entah mengapa ketika bangun tidur pagi ini badanku terasa segar. Pundak dan kepalaku ringan, serta dadaku terasa lapang. Padahal selama ini, sejauh yang aku ingat, badanku bereaksi buruk setiap kali mencium bau karbol dan etanol.

"Sudah bangun?" suara seorang wanita tiba-tiba menggema dalam rongga telingaku. Aku menoleh, menatap wanita itu yang masuk ke dalam ruanganku sambil membawa semangkuk bubur polos.

Aku tersenyum, menatapnya, seraya memberikan jawaban yang lebih terdengar seperti pertanyaan, "Kamu di sini Lu?"

Luisa, wanita itu tersenyum sambil mengangguk. Dia berjalan menghampiriku dan mengambil tempat pada sebuah bangku di samping kiri tempat tidur dekat nakas, sambil kemudian menaruh mangkuk bubur yang dia bawa di atasnya. "Sudah merasa baikan?" tanyanya lagi.

"Tidak pernah merasa sesegar ini sebelumnya," jawabku sambil menyeringai. Dengan perlahan aku beranjak dari posisiku yang setengah tertidur untuk duduk bersandar pada sandaran tempat tidur yang sudah kulapis bantal. "Itu buatku?" tanyaku kemudian sambil menunjuk bubur polos yang tadi dibawa Luisa.

Dia mengangguk, lalu mengambil mangkuk yang ditaruhnya di atas nakas. "Mau sarapan sekarang?" tanyanya alih-alih mengiyakan pertanyaanku.

"Aku bisa sendiri," timpalku sambil mengasongkan tangan di depannya, lalu meraih mangkuk yang sedang dipegangnya.

Pagi itu aku benar-benar merasa sangat sehat. Mungkin karena infus atau obat penenang yang semalam disuntikkan pada lenganku. Tidak ada alasan bagiku ketika itu untuk sarapan dengan malas-malasan, karena nafsu makanku sudah benar-benar pulih. Untuk sesaat suasana hening. Aku sibuk dengan semangkuk buburku, dan Luisa diam memperhatikanku yang sedang makan.

"Hey," ucap Luisa pelan memecah keheningan. Aku menoleh dan menatapnya dengan pandangan bertanya. Luisa balas menatapku, dan melanjutkan ucapannya, "Tadi malam Cara kemari."

Lagi-lagi hening. Luisa diam, begitu pula aku.

Tidak ada alasan untuk itu. Maksudku, wajar jika Cara kemari, mengingat mama dan papa cukup heboh malam tadi, ketika kakiku mendadak sakit. Mereka pasti menghubungi keluarga om Adi, hanya untuk mengabari atritisku yang katanya kambuh. Padahal penyakitku itu sudah sembuh total, aku hanya mengalami sindrom aneh karena trauma. Yang aku sendiri masih ragu akan alasannya.

Hanya saja bagiku dan Luisa, kedatangan Cara tadi malam mempunyai arti yang lebih dari itu. Kami berdua tahu seapatis apa sikap Cara terhadap segala hal. Dan kesediaannya menyisihkan waktu tadi malam hanya untuk menjengukku menandakan bahwa tembok pembatas dirinya perlahan mulai retak. Ini pertanda baik, setidaknya bagiku, yang telah merundung diri selama berbelas-belas tahun, karena merasa terbebani mengetahui apa yang telah aku perbuat di masa lalu berdampak buruk pada kehidupan seseorang.

Aku masih ingat delapan tahun lalu, dua tahun setelah operasi lututku di Malaysia, aku berkunjung ke Jakarta. Di sebuah rumah sakit di mana papa sempat dirawat setelah operasi usus buntu, sebuah keluarga kecil menjenguk dan duduk di ruangan tamu kamar rawat. Dan pada sela partisi yang memisahkan bagian kamar dan ruangan itu, mataku melihat sepasang mata gelap dingin dari seorang gadis kecil menatap penuh cemburu pada gadis lain yang umurnya lebih tua darinya, yang tengah bermanja dengan dua orang paruh baya di depannya.

An Apple for CaraWhere stories live. Discover now