Bab 8 - Adipati

68 8 1
                                    

Cara.

Ini bukan waktu yang tepat untuk merasa bahagia. Namun suara pria itu malah terdengar girang ketika aku menghubunginya dan bertanya di mana posisinya sekarang. Ya, aku tahu dia tidak pernah sekalipun menempatkan keluarga pada prioritas utamanya, tapi setidaknya, untuk sekarang saja, apa dia tidak bisa untuk sedikit saja merasa bersalah?

Sekalipun kini aku tidak bisa melihat wajah dan ekspresinya, namun dari nada suaranya yang jelas dan bernada, aku tahu ada sesuatu yang tengah membuncah dalam hatinya. Bukan sesuatu yang buruk, namun justru sebaliknya, ada euforia kegirangan dan letupan emosi positif, yang akhirnya berhasil membuatku melakukan kebiasaan mendengusku. Apa dia serius? Apa memang hal seperti inilah yang dia inginkan selama ini?

Aku tidak percaya. Benar-benar tidak habis pikir.

Dia bilang, dia masih berada di kantor dan tidak bisa pulang malam ini. Katanya, ada beberapa hal yang harus cepat-cepat dia siapkan. Entah untuk apa, namun yang jelas dia bersemangat sekali menceritakannya. Tidak ada hal lain yang muncul dalam pikiranku ketika itu, kecuali bahwa mungkin saja hal yang sedang ia persiapkan adalah rencana pernikahan keduanya.

Aku masih belum berada dalam taraf memiliki kekuatan yang cukup untuk menanyakan kebenaran berita itu pada dirinya langsung. Entahlah, aku hanya merasa takut jika aku mendengar bahwa ternyata hal itu benar adanya, pada akhirnya malah membuat hatiku terasa lebih sakit lagi.

Aku memintanya untuk pulang, namun dia menolak, sekalipun terdengar jelas sekali bahwa ia merasa menyesal. Niatku hanya itu, namun entah kenapa hari ini dia terdengar riang sekali, terus menerus bercerita, dari mulai rapatnya siang tadi, pertemuannya dengan kritikus mode, sampai kupingku memerah dan terasa memanas karena hantaran panas dari ponselku selama kurang dari dua puluh menit. Aku tidak pernah menimpali selain dari reaksi datar seperti "Oh", "Oh ya", dan "Begitu", karena ya, aku memang tidak begitu tertarik dengan ceritanya.

Mungkin karena dia merasa bahwa aku tidak begitu menaruh perhatian, atau karena dia sudah kehabisan bahan cerita, akhirnya kami saling diam untuk beberapa detik. Ketika itu pula, di penghujung diamnya, aku bisa mendengar embusan napas yang dibuang dengan berat dari speaker ponselku, yang kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan, "Ara, menurutmu bagaimana keluarga kita?" nadanya terdengar hati-hati, namun juga tegas. Seolah ingin mengungkapkan sesuatu yang penting, namun tidak sampai ingin mengutarakannya dengan sembarangan.

Sekalipun tidak terus terang merujuk pada masalah yang kini sedang bercokol di rumah, aku tahu pertanyaan yang diajukan itu nantinya akan bermuara pada hal tersebut. Jadi karena bingung hendak menjawab apa, aku hanya bisa balik bertanya, "Bagaimana apanya?"

"Ya, keluarga kita. Apa kamu benar-benar pernah merasa di rumah ketika pada nyatanya kamu memang tengah berada di sana?" tanya orang itu lagi.

Aku terdiam, berusaha mencerna pertanyaannya, dan untuk hal itu aku memerlukan lebih banyak waktu. Bukan karena pertanyaannya itu sulit untuk dimengerti, namun karena aku tidak tahu jawabannya. Aku tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya dalam hidupku.

Mungkin karena aku terdiam cukup lama, dan dia sadar bahwa aku tengah kebingungan, kemudian dia melanjutkan kembali ucapannya, namun kali ini tidak dengan nada riang seperti sebelum-sebelumnya, tapi cenderung terdengar sendu, kelam, sedih, "Dalam hidup Papa, tidak ada cita-cita yang terus bercokol dalam kepala selain dari membangun keluarga yang hebat." Kemudian dia terdiam untuk beberapa detik. "Maka dari itu, apa yang selama ini Papa kejar, bisnis dan segala hal yang mati-matian Papa bangun, semua Papa dedikasikan untuk keluarga ini." Jeda lagi, lalu terdengar kekehan ironi. "Ya, setidaknya begitulah pada awalnya."

Satu kenyataan yang baru aku tahu dalam dua puluh satu tahun hidupku, orang ini, maksudku Adipati Ramadhan Setyo, papaku, ternyata tidak memiliki citra diri seburuk yang aku kira sebelumnya. Aku tidak tahu bahwa selama ini ia begitu menjunjung keluarga kami, bekerja keras untuk membangun sebuah keluarga yang hebat. Bukan hanya yang sederhana dan penuh kebahagiaan, melainkan yang besar, kuat, hebat, namun juga sama-sama bahagia.

An Apple for CaraWhere stories live. Discover now