Bab 10 - Diani

18 4 2
                                    

Cara.

Pagi itu aneh. Mama yang semalam marah besar kini tengah sibuk menyiapkan sarapan di dapur bersama dengan bi Lilis, sambil sesekali mengobrol dengan papa yang tengah membaca koran di meja makan, seolah tidak ada yang terjadi sama sekali sebelumnya.

Entah apa yang telah papa ucapkan pada mama semalam sampai mama bisa bertingkah senormal ini. Padahal jika aku berada di posisi mama, sudah barang tentu aku akan marah besar sampai berhari-hari. Aku sebenarnya penasaran, namun sama sekali tidak berani untuk menanyakan apa yang sebenarnya telah terjadi. Jadi ketika itu aku hanya duduk di kursiku sambil menunggu hidangan sarapan disajikan di atas meja.

Sebenarnya pun masih ada hal aneh lain yang terjadi pagi ini selain dari perubahan sikap mama yang spontan. Dan hal aneh itu terjadi pada kak Luisa. Sejak turun dari kamarnya beberapa menit lalu, kak Luisa yang biasa turun sambil memasang wajah segar dan ceria, justru kini terlihat seolah kebingungan dan malah nongkrong di depan TV ruang tengah sambil memasang saluran pada acara gosip.

"Ara, tolong panggil kakakmu. Sarapan sudah siap," ucap Mama kemudian setelah meletakkan sebuah mangkuk besar berisi nasi goreng di atas meja. Aku mengangguk mengiyakan sambil memasang senyum kecil yang berhasil membuat mama mengernyitkan alisnya.

Aku tahu. Semua orang banyak terkejut beberapa hari ini karena perubahan sikapku.

Aku lalu berdiri dari kursiku dan berjalan menuju ruang tengah yang jaraknya kurang dari sepuluh meter dari ruang makan. Ketika aku sampai di belakang sofa ruang tengah, aku melihat wajah kak Luisa yang sangat serius menatap televisi yang tengah menampilkan berita tentang hilangnya seorang penyanyi pop yang kini sedang naik daun. Wajah kak Luisa terlihat cemas sekaligus fokus, memasang kupingnya lebar-lebar pada suara televisi.

"Kak," panggilku. "Kak Luisa!" seruku lagi lebih kencang ketika sebelumnya panggilanku sama sekali tidak dapat memecah konsentrasinya pada televisi. Namun tetap saja, kak Luisa sama sekali tidak mendengar panggilanku.

Karena sama sekali tidak mendapat respons, akhirnya aku berjalan mendekati kak Luisa dan menepuk pundaknya sambil bertanya, "Ada berita apa sih Kak? Serius amat."

Kak Luisa refleks menoleh padaku, dan segera memasang senyum yang terlihat rikuh. "Eh, g-gak ada apa-apa kok Dek, cuma berita nggak penting," ucapnya sedikit gelagapan. Ia lalu langsung berdiri dari duduknya setelah sebelumnya mematikan televisi, dan kembali berkata, "Yuk makan."

Aku mengikutinya dari belakang. Jelas sekali kak Luisa tengah menyembunyikan sesuatu. Dan tiba-tiba saja, di sela langkahku menuju ruang makan aku mengingat kejadian tadi malam di teras bersama dengan Dario dan kak Luisa. Aku sadar betul ketika itu, ketika aku memeluk kak Luisa, ia menangis. Aku sempat menyangka itu adalah tangisan haru karena perubahan sikapku, namun setelah dipikir berkali-kali, aku bukan seseorang yang patut ditangisi sedemikian rupa hanya karena berubah menjadi lebih baik. Maksudku, ini hanya aku, bukan seseorang yang berarti besar untuk hidup orang lain. Bagaimana bisa aku membuat seseorang menangis terharu hanya karena hal sepele seperti ini?

***

Satu jam setelah sarapan, rumah kembali sepi. Papa telah berangkat ke kantor, dan kak Luisa pun pergi bekerja. Namun berbeda dengan mama, ia kali ini tidak pergi keluar melakukan kegiatan sosial yang biasa ia kerjakan. Mama duduk di sofa ruang tengah sambil memotong-motong bunga lili favoritnya sebelum kemudian memasukkan beberapa sulur ke dalam vas kaca bening yang telah diisi air, dan merangkainya.

"Mama tidak pergi hari ini?" tanyaku sedikit mengejutkannya.

Ia menatapku untuk beberapa detik, mungkin ingin memastikan bahwa benar aku yang baru saja mengajaknya mengobrol. Aku mengambil tempat di sebelahnya, lalu ia pun menjawab, "Ngga Ra, mama sedang capek, ingin istirahat di rumah saja."

An Apple for CaraWhere stories live. Discover now