Bab 6 - Jelas

79 8 13
                                    


Cara.

Aku berpisah dengan Rena di pelataran rumah sakit malam tadi. Tidak ada yang banyak aku katakan ketika itu, ketika aku membalas senyum yang tersungging di wajah manisnya. Aku tidak pernah menyangka bahwa Rena bisa menjadi orang sehangat itu. Maksudku, semua orang tahu dia sedikit tomboi dan cuek. Terlepas dari hal tersebut, yang membuat bibirku enggan bergerak ketika itu untuk mengucapkan selamat tinggal alih-alih menyunggingkan senyum adalah kenyataan bahwa pikiranku dihinggapi banyak sekali ingatan kabur yang perlahan mulai bermunculan. Seperti buih sabun pada air yang terus diaduk, semakin berbuih setiap kali adukannya semakin cepat. Hanya saja bedanya, ketika ingatan kabur yang bermunculan itu semakin menggunung, dia membentuk satu kesatuan utuh, membentuk sebuah cerita yang meskipun masih samar, namun aku masih bisa mengikuti ke mana benang merahnya bermuara.

Aku mempunyai seorang kenalan, sekalipun tidak begitu akrab, seorang wanita muda berambut panjang sepunggung yang selalu dikucir kuda setiap kali aku menemuinya di kantornya di lantai lima sebuah rumah sakit. Wajahnya hangat disertai dengan bibirnya yang selalu menekuk ke atas seolah tersenyum meskipun dia tidak tengah tersenyum. Matanya selalu menatap tepat pada bola mataku, memberi perhatian penuh setiap kali aku berbicara. Namanya Dara, psikiater yang selama lebih dari lima tahun menjadi pendengar keluh kesahku.

Aku tidak akan berbicara tentangnya, karena sudah lebih dari dua tahun lamanya aku tidak lagi melakukan konsultasi. Selain itu juga, dia tidak ada sangkut pautnya dengan masalah yang sekarang tengah aku geluti―ya, meskipun sebenarnya ada, hanya saja memang porsinya sedikit. Namun yang ingin aku jelaskan sekarang adalah alasan yang membuatku selama ini melakukan konsultasi dengan Dara.

Aku merasa jiwa pemberontakku mulai tumbuh bersamaan dengan perkembangan dan pertumbuhan fisikku sedari kecil. Rasa benci pada orang lain yang muncul dalam hidupku semakin membuncah setiap detiknya. Namun baru beberapa tahun belakangan ini semuanya terealisasi dalam wujud nyata pada perbuatan dan sikapku. Tutup gabus botol sampanye yang dikocok itu telah meletup, mengeluarkan sebagian muatannya yang entah sudah berapa lama terperangkap di dalamnya. Langkah awalku ketika itu adalah dengan memutuskan secara sepihak semua jadwal konsultasiku dengan Dara.

Papa dan mama tentu menentang hal ini. Tapi bisa apa mereka jika berhadapan denganku? Mereka mungkin mempunyai kuasa di rumah, namun mereka sama sekali tidak mempunyai kuasa akan hidupku. Dan mereka sadar bahwa memaksakan kehendak mereka padaku malah akan berakhir lebih buruk lagi.

Aku menghentikan konsultasiku bukan karena alasan yang tidak jelas. Malah justru sebaliknya, konsultasi itulah yang justru tidak jelas. Dulu memang aku mempunyai masalah gangguan kebiasaan dengan tempat sempit, gelap, dan tertutup. Namun sekarang sudah tidak, dan aku rasa sangat tidak masuk akal jika aku harus terus menerus melakukan konsultasi itu sampai sekarang. Aku merasa sudah tidak ada lagi yang salah dengan diriku, dan mereka seolah terus menerus mencekokiku dengan layanan-layanan penyembuhan yang menurutku sudah tidak lagi berguna.

Semakin aku tumbuh, semakin sulit aku menggali ingatan akan masa kecilku. Bahkan ketika Rena mengajakku pergi ke rooftop tadi malam, menceritakan berbagai macam hal yang setelah aku pikir, menjadi penyambung akan setiap ingatan yang mulai kabur dalam memori otakku, kepalaku mendadak sakit, sekalipun tidak sampai membuatku limbung dan tersungkur jatuh.

Kini, lebih tepatnya tadi subuh ketika aku baru saja mengerjapkan mata, kepalaku terasa sangat lapang, dan aku mulai bisa menarik ingatanku yang belum sempurna rampung itu sehingga semakin mencuat pada permukaan.

Gambaran pertama yang muncul dalam benakku tadi pagi adalah sosok kecil diriku yang tengah memeluk lutut, terisak, dan lemas karena kekurangan oksigen di sebuah ruangan gelap sempit yang pengap. Diriku ketika itu hanya terisak, lebih karena tidak mempunyai cukup tenaga untuk menjerit atau bahkan hanya mengguguk. Bukan kenangan yang baik, dan justru tiba-tiba saja membuat dadaku terasa sesak seolah benar-benar kekurangan oksigen.

An Apple for CaraWhere stories live. Discover now