Bab 15 - Sintia

32 3 15
                                    

Cara.

Aku duduk di atas tempat tidur sambil memegang ponsel sedari beberapa jam lalu menunggu balasan Line dari Dario. Aku mengiriminya tiga buah pesan yang sampai sekarang masih belum dibacanya. Sepertinya ia benar sangat sibuk. Tapi jika bukan disibukkan oleh urusan kantor, lalu apa?

Aku benci untuk begitu perhatian pada urusan orang lain. Rasanya seperti tidak pantas dan lancang. Dan bertingkah seperti ini pada Dario, malah membuatku ingin sekali kembali menjadi aku yang dulu, yang bisa dengan mudah tidak begitu perhatian pada urusan orang, tanpa harus pusing-pusing memikirkan apa yang tengah orang lain lakukan dan tidak bisa beristirahat dengan benar karenanya.

Ya, aku tahu itu tidak benar, meskipun hanya perasaan. Aku sama sekali tidak berniat untuk kembali menjadi seperti dulu, membuang diriku jauh-jauh dari orang lain, seperti gelandangan yang tidak mempunyai kepercayaan diri, merasa bangga atas apa yang ia punya, padahal yang ia punya hanya pakaian butut yang dikenakannya. Aku tidak hendak mendrama, namun tidak ada dalam rencanaku untuk kembali menjadi seperti itu, bahkan jika ada hal besar yang akhirnya terjadi dalam hidupku ini sekalipun, bahkan jika pada akhirnya tidak ada satu orang pun yang akan berdiri bersamaku.

Terlalu lama terdiam dengan pikiranku yang dipenuhi dengan kekacauan, aku kemudian berbaring, ketika beberapa menit kemudian, setelah aku mulai memejamkan mata, ponselku bergetar dan menampilkan pesan Line dari Dario pada layarnya.

Dario: Maaf tadi sibuk sekali. Ada apa sampai meneleponku delapan kali?

Aku kembali menegakkan tubuhku ketika membaca pesannya. Aku terdiam sebentar, kemudian membalas pesannya.

Duh aku pasti ganggu sekali tadi. Nggak ada alasan tertentu sih, tadi aku cuma nggak sengaja ketemu seseorang, dan mengobrol banyak. Aku cuma ingin cerita.

Tidak lama kemudian ia kembali membalas.

Dario: Nggak ganggu kok. Tapi kamu yakin nggak ada apa-apa kan? Rasanya aneh saja kalau sampai telepon delapan kali cuma karena ingin cerita. Aku khawatir.

Aku terdiam sebentar. Sebenarnya bukan keinginanku untuk menelepon Dario sebanyak itu jika tidak ada sesuatu yang penting sekali terjadi tadi sore. Sekalipun aku merasa khawatir sendiri, namun rasanya aku tidak ingin mengganggu ia yang tengah mengurusi banyak hal, sampai-sampai baru sempat membalas pesan Lineku sekarang. Jadi, sambil berpikir dan meyakinkan diriku bahwa aku bisa menangani hal ini sendiri, aku tidak akan memberi tahu Dario apa yang sebenarnya terjadi, dan membiarkannya terbebas dulu mengerjakan apa yang harus ia urus, tanpa harus merasa terbebani olehku.

Aku nggak apa-apa. Terima kasih sudah khawatir. Selamat istirahat Yo.

Dario kembali membalas.

Dario: Yakin? Kamu tahu kan aku 24 jam bisa diajak mengobrol kalau kamu ingin cerita? Tapi kalau kamu sudah mau tidur, baiklah. Selamat malam cantik.

Aku diam membaca pesan terakhir Dario itu. Perasaanku bercampur antara kesal dan senang. Senang karena dipuji olehnya, dan kesal karena menyadari bahwa itu adalah sebuah kebohongan. Namun dibanding itu semua, rasa tidak nyaman karena khawatirlah yang malam ini mendominasi keadaan hatiku.

Aku tidak tahu ada koneksi apa antara aku dan Dario, namun yang pasti, bukan hanya ia, melainkan juga aku terus-menerus merasa gundah dan khawatir, seolah ada sesuatu yang melonjak-lonjak dalam dadaku, membuatnya bergemuruh dan tidak bisa tenang, seberapa besar pun usahaku untuk membuat diriku sendiri rileks, meskipun dalam kasus ini, aku tahu pasti apa penyebabnya.

***

Tadi sore, ketika aku baru saja selesai makan di sebuah restoran bersama dengan Gika, Briana, dan Andrea, seorang anak berumur lima tahun terlihat menangis di sisi lain restoran itu sambil duduk memegang lututnya yang memerah karena memar akibat terjatuh.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 17, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

An Apple for CaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang