Bab 4 - Rena

67 8 4
                                    

Cara.

Ada seorang gadis tengah duduk di salah satu kursi yang memanjang di ruang tunggu. Rambutnya pendek sebahu dengan garis wajah yang halus. Dia memakai kemeja putih yang lengannya digelung sampai sikut, celana jeans biru muda belel panjang, dan sneakers.

"Rena?" ucapku refleks ketika melihat gadis cantik yang sedikit tomboi itu. Aku mengenalnya, karena kami pernah satu kelas sebelum akhirnya dia menghilang tanpa kabar entah ke mana.

Mendengar aku memanggil namanya, Rena menoleh. Dan tanpa merasa terkejut, dia berdiri dan menghampiri kami. Kemudian setelah berdiri tepat di hadapan kami, dia berkata, "Tante Donna dan Om Rangga sedang di ruang dokter. Kak Dario baru saja tidur. Om dan Tante tunggu saja dulu di sini."

Mama dan papa mengangguk dan langsung mengambil tempat pada bangku di ruang tunggu itu. Sedangkan kak Luisa dan aku masih berdiri berhadapan dengan Rena.

Sebelumnya aku tidak pernah menyangka bahwa dunia bisa sesempit ini. Rena yang pernah aku tahu ternyata kenal baik dengan keluarga om Rangga. Bukan hal besar sebenarnya, toh sama seperti hubunganku dengan teman sekelasku yang lain, hubunganku dengannya tidak pernah beranjak dari status sebagai teman sekelas.

"Aku dengar Atritisnya kambuh lagi. Kok bisa?" tanya kak Luisa pada Rena khawatir. Entah mereka sudah saling mengenal sebelumnya, atau karena rasa khawatir sudah melingkupi dirinya, sampai-sampai kak Luisa bertanya langsung tanpa memperkenalkan dirinya terlebih dahulu.

Rena menatap kak Luisa skeptis untuk beberapa saat, sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya padaku tanpa ekspresi. "Seriusan, kamu ingin membicarakan hal itu di sini?" dia menjawab ucapan kak Luisa, namun matanya tetap menatapku.

Seolah menyadari sesuatu, dengan cepat dan gugup kak Luisa tiba-tiba menimpali, "Eh, nanti saja. Om Rangga sama tante Donna sudah datang." Tingkahnya aneh, seolah tengah berusaha untuk mengalihkan pembicaraan.

Dari ujung mataku aku melihat dua orang paruh baya itu berjalan menyusuri lorong dari arah timur. Kak Luisa, mama, dan papa seketika berdiri dan menghampiri dua orang itu, disertai dengan raut wajah yang khawatir. Sedangkan aku hanya terdiam, dan Rena masih berdiri tepat di depanku.

Pikiranku ketika itu dipenuhi oleh banyak hal. Namun meskipun begitu, setidaknya satu pertanyaan dalam benakku sudah terjawab tanpa aku harus mengajukan pertanyaan secara verbal. Rena dan kak Luisa sudah mengenal satu sama lain. Aku yakin. Dan satu lagi, mereka menyembunyikan sesuatu dariku. Namun sepertinya, bukan hanya mereka, melainkan semua orang yang pernah berkeliaran dalam hidupku menjaga rahasia itu rapat-rapat dariku.

Aku penasaran. Toh kenyataannya mereka tidak akan merahasiakan sesuatu jika itu tidak ada hubungannya dengan diriku. Namun meskipun begitu, aku tidak sampai gila dan berhasrat untuk mencari tahu. Dua puluh satu tahun yang sudah kuhabiskan dalam hidupku sudah cukup memberiku pelajaran berharga bahwa umurku akan terbuang sia-sia jika hanya digunakan untuk mengurusi hal-hal yang tidak ada untungnya bagiku.

Aku berjalan menghampiri om Rangga dan tante Donna. Wajah mereka terlihat sangat lelah, mungkin karena harus mengalami situasi hektik pada jam-jam istirahat seperti sekarang. Orang sakit memang menyusahkan, meskipun mereka sudah cukup dewasa untuk mengurusi hidupnya sendiri, pada saat keadaannya memburuk seperti yang kini tengah dialami Dario, tetap saja dirinya akan diperlakukan seperti anak kecil, dibantu dalam segala macam hal, dan dimanja oleh kedua orang tuanya.

Aku memeluk tante Donna ketika aku sampai di hadapannya, tanpa sepatah kata pun yang terucap dari mulutku. Bukan hanya karena aku bingung ingin mengatakan apa, melainkan juga karena aku pikir diam merupakan cara paling baik yang harus aku lakukan sekarang.

An Apple for CaraWhere stories live. Discover now