Bab 7 - Adiktif

69 8 1
                                    

Cara.

Aku dan Dario tengah duduk sambil mengobrol di ruang tamu ketika mama masuk ke rumah sambil menangis. Ya, menangis, meneteskan air mata dan terisak. Tidak jelas penyebabnya apa, namun yang jelas, seingatku dalam hidupku ini, baru tiga kali aku melihatnya menangis. Pertama, ketika Opa Ramlan meninggal. Kedua, ketika Oma Nilam menyusul Opa berpulang. Dan ketiga, ketika Papa kecelakaan lima tahun lalu.

Sekarang, hitungan itu sudah menggenap menjadi empat. Aku tidak tahu alasannya, namun berbeda dengan tangis-tangis sebelumnya, kali ini, ketika sosok wanita paruh baya itu menghilang di balik pintu kamarnya, aku mendengar suara benda berjatuhan yang sangat kencang dari balik kamar, seperti bunyi benda-benda yang dibanting, tidak hanya satu, namun beberapa dan berkali-kali. Aku tidak ingin mengatakan bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi, karena jika aku mengatakannya, mau tidak mau aku harus mempercayainya, mempercayai bahwa ada sesuatu yang sampai membuat mama yang pada dasarnya berjiwa lembut bisa sampai mengamuk seperti itu.

Di sela obrolanku dengan Dario yang sudah mulai bergerak santai dan tidak canggung, karena kejadian itu, aku seketika berdiri dari sofa karena terkejut, membiarkan ucapan Dario yang belum selesai itu menggantung tanpa lagi aku perhatikan. Aku bingung, bukan hanya karena menerka-nerka apa yang sebenarnya telah terjadi pada mama, namun juga karena bingung hendak berbuat apa di saat-saat seperti ini.

Bi Lilis yang tengah sibuk melakukan hal yang aku tidak tahu di belakang rumah pun tiba-tiba menghampiriku sambil memasang ekspresi wajah yang sama denganku ketika mendengar suara ribut dari dalam kamar mama. Wanita paruh baya itu menatapku dengan tatapan penuh tanya tanpa mengucapkan sesuatu, seolah meminta penjelasan akan apa yang sedang terjadi. Sedangkan aku, karena juga tidak tahu di mana duduk permasalahannya, aku hanya membalas dengan gelengan kepala, pertanda aku juga tidak mengerti.

Dario yang masih duduk di sofa juga ikut-ikutan berdiri dan diam terpaku dengan gerakannya yang terlihat canggung. Antara dia merasa tidak nyaman berada di sini dan tidak tega meninggalkanku, tingkahnya kini menjadi kikuk. Jika aku menjadi dirinya, pasti aku pun akan merasa serba salah. Permasalahan dalam rumah tangga orang bukan konsumsi orang luar, namun posisinya yang sudah terlanjur melihat kejadian itu membuatnya merasa menjadi orang yang suka ikut campur. Kalaupun dia hendak pergi, rasanya kikuk jika tiba-tiba saja pamit untuk undur diri di tengah suasana rumah yang memanas. Serba salah.

Untuk beberapa saat ketika itu suasananya menjadi hening. Belum ada yang berani angkat bicara, dan masih terjebak dalam kesunyian yang canggung. Aku yang bingung hendak berbuat apa, bi Lilis yang tidak mengerti apa-apa sama halnya denganku, dan Dario yang tidak berani untuk pamit pulang, hanya bisa melakukan satu gerakan. Mengembang kempiskan hidung dan dada, bernapas. Setidaknya itu merupakan satu hal paling berguna yang bisa kami lakukan saat ini, memompa oksigen ke otak agar bisa berpikir lebih jernih lagi.

Tidak lama setelah itu, pak Johor, yang sedari pagi tadi mengantar mama pergi ke organisasi sosialnya tiba-tiba masuk dan menghampiri bi Lilis yang juga tengah berdiri di depanku. Pria paruh baya itu berjalan dengan sedikit cepat, seolah membawa sesuatu yang besar, yang tidak sabar dia tunjukkan pada orang-orang. Namun alih-alih melakukan hal itu, dia malah membungkukkan badannya yang sedikit lebih tinggi dari istrinya, dan membisikkan sesuatu pada bi Lilis. Bisikan yang aku yakin sepertinya tidak membawa kabar baik, mengingat ekspresi bi Lilis yang tiba-tiba berubah, seperti terkejut, namun juga sekaligus tidak percaya.

"Ada apa ini sebenarnya Pak?" tanyaku langsung pada pak Johor ketika melihat gelagat tidak baik dari raut wajah bi Lilis setelah mendengar bisikan suaminya. Aku tidak pernah seperti ini sebelumnya, merasa berapi-api hanya untuk mengetahui masalah orang.

Yang ditanya malah terlihat kebingungan, dan saling tatap menatap dengan istrinya. Membuatku kesal karena rasa penasaranku seolah mereka pupuk dan siram sampai membesar dengan subur. Akhirnya dengan mengabaikan sikap sopanku untuk berbicara dengan tutur kata yang baik terhadap orang yang lebih dewasa, pada akhirnya dengan nada yang terdengar lebih tinggi, aku memaksa, "Pak! Kenapa?!"

An Apple for CaraWhere stories live. Discover now