Bab 13 - Elias

26 5 18
                                    

Cara.

Pak Radian memanggilku hari ini untuk datang ke kampus. Aku tidak tahu hendak apa, namun ia bilang cukup penting. Aku tidak pernah bisa percaya pada setiap kata 'penting' yang selalu ia ucapkan, mengingat ia adalah salah satu dosen yang jarang sekali bersikap serius. Dulu pun, mengapa pada akhirnya aku menjadi mahasiswa bimbingannya, adalah karena dosen pembimbingku harus menyelesaikan program doktoralnya di Inggris, dan mengalih tugaskan bimbinganku pada pak Radian.

Biasanya, kalau tidak mengendarai mobil sendiri, aku berangkat ke kampus diantar oleh Dario. Namun karena malam nanti Dario mengajakku makan malam, dan bilang bahwa ia tidak mau diganggu beberapa jam sebelumnya, hari ini aku memilih untuk berangkat menggunakan kendaraan umum. Selain itu juga, aku tidak lagi dikejar kuliah sehingga tidak masalah jika terlambat sampai kampus karena menunggu bis. Pak Radian sendiri tidak menentukan waktu temu kami, jadi aku merasa cukup santai hari ini.

Aku tengah berjalan mengitari jembatan halte, hendak transit bis, ketika seseorang memanggil namaku dengan kencang dari belakang, "Ra!" Aku seketika menoleh, dan mendapati Briana sedang berjalan setengah berlari ke arahku. "Mau ke mana? Ngampus?" tanyanya.

Aku tersenyum sambil mengangguk. "Ada urusan sama pak Radian," jawabku.

"Oh, ya sudah yuk bareng, gue juga mau ke kampus nih."

"Ayo."

Kami pun berjalan bersisian sambil mengobrol. Briana masih menggarap skripsi, sama seperti dua temanku yang lainnya, Gika dan Andrea. Mereka bertiga sering pergi bersama karena dibimbing oleh dosen yang sama, dan meneliti bidang yang sama pula dengan variabel berbeda, dan karena hal itu pula, mereka sering bertanya dan meminta bantuan padaku bersamaan.

"Kemarin lusa itu wow banget," ucap Briana. "Gue nggak nyangka si Putra bakal terang-terangan nembak lu di depan banyak orang," lanjutnya sambil masuk ke dalam bis yang baru saja berhenti. Aku mengekor di belakangnya, dan mengambil tempat di bagian tengah. Kami duduk bersisian.

"Aku juga sama sekali nggak nyangka. Kaget banget," timpalku.

"Tapi by the way, cowok kece yang waktu itu siapa? Pacar lu Ra?"

Aku tahu yang dimaksud cowok kece oleh Briana adalah Dario, mengingat ia adalah satu-satunya pria yang tidak dikenali oleh teman kampusku di lorong kemarin lusa, dan paling banyak menarik perhatian teman-teman perempuanku. Ditanya seperti itu membuatku sedikit bingung. Aku terdiam sebentar, tidak tahu harus menjawab apa. Ajakan untuk berpacaran dari Dario masih belum resmi bukan? Dan sebelum ia kembali mengajakku berpacaran, kami belum berstatus sepasang kekasih. Jadi sambil menggeleng pelan, aku menjawab, "Kami belum pacaran."

"Belum? Wah berarti akan dong?"

"Ya sepertinya begitu," jawabku sambil memastikan tersenyum, sekalipun malu sekali menjawabnya.

Briana mengangguk-anggukan kepalanya. "But, he's really hot for sure. Bisa kenalan di mana kalian?" tanyanya lagi.

"Dia teman kecilku. Aku, dia, dan kakakku dulu sering main bareng."

"Kakakmu yang waktu itu ke kampus? Luisa Bella?"

Aku mengangguk.

"Wah. Pantes lu cantik, kakak lu juga kaya bidadari begitu."

Aku tertawa sedikit kencang. "Dari mananya aku cantik? Di banding dia, aku nggak ada apa-apanya kali," timpalku.

Briana mengernyitkan alisnya. "Iya memang kakak lu cantik banget sih, tapi bukan berarti lu jelek juga. Bagaimana ya bilangnya, kakak lu kan modis banget tuh, cantik kaya model, nah lu tipe yang sebaliknya. Cantik tipe-tipe anak polos yang apa adanya."

An Apple for CaraWhere stories live. Discover now