TIGA PULUH DUA

141K 12.6K 462
                                    

Empat jam kemudian, Jacqueline memberikan Warren selimut dan memaksa pria itu untuk meminum obat yang ia masukkan ke mulut pria itu sebelum Warren kembali tertidur. Sementara dengan Max, ia menidurkan Max ke dalam kamarnya dan memeluk Max karena hanya itulah yang diinginkan anak kecil itu.

"Jackie..." gumam Max dipelukannya.

"Ya Max?"

"Jackie, daddy tidak bahagia," gumam Max kembali.

"What's wrong?" tanyanya kepada Max yang terdengar begitu sedih.

"Karena daddy tidak pernah lagi mengajakku berbicara."

Jacqueline merengkuh Max lebih dalam dan berkata, "Daddy tidak menyalahkanmu Max."

"But it feels like he did," Max merasa Warren menyalahkannya karena kepergian Catherine.

"Max, kamu sakit dan demam kamu belum turun, sekarnag kamu perlu beristirahat," kata Jacqueline kepada Max.

"Jackie..." gumam Max lagi memanggil namanya.

"Ya Max?"

"Gimana kalau kamu yang membuat daddy bahagia Jackie?" tanya Max dengan suara kecilnya yang sudah mengantuk.

Kali ini Jacqueline tidak menjawab pertanyaan Max.

*

Jacqueline tidak mengingat kapan ia tertidur dan kenapa ia bisa tertidur, ketika ia mendengar suara bel pintunya, ia hampir saja berpikir dirinya bermimpi. Jacqueline berjalan dan menyadari kalau apartemennya sudah gelap, namun jendela apartemennya memancarkan sedikit cahaya dari luar sehingga Jacqueline masih dapat melihat bahwa Warren masih tertidur di kursi sofanya dan pria itu sama sekali.

Jacqueline berjalan menuju pintunya dan untuk sesaat ia menahan napasnya ketika mengetahui siapa yang berada di depan pintunya, "Adian?" gumamnya.

"Siapa lagi menurut kamu? Buka pintunya Jacqueline!" Pria itu mendorong dirinya namun Jacqueline menahan dirinya dan pintu yang ia pegang.

"Adian, please, kemarin kamu sudah..."

"Dengar ya, menurut kamu apa yang kamu kasih cukup? Perempuan jalang biarkan aku masuk!" Sekali lagi Adian berusaha untuk mendorong pintu dan mendorong dirinya bersamaan.

Jacqueline mendorong Adian dan menutup pintu apartemennya – sialan, ia harus membangunkan Warren kalau ia ingin masuk kembali karena sekarang dirinya terkunci dari apartemennya sendiri. "Adian, tidak hari ini."

"Menurut kamu, kamu siapa Jacqueline?" tanya Adian yang sekarang membuatnya terpojok dengan dinding.

Jacqueline mulai bergemetar karena ia tahu apa yang akan Adian lakukan bila ia melawan, "Adian, please..."

"Buka pintunya Jacqueline! Sialan jangan memperumit jalanku!" Kembali Adian ingin membuka pintu namun Jacqueline tidak membiarkannya. Ia tidak bisa membuka pintunya karena sekarang ia terkunci.

"Aku tidak bisa membuka pintunya," jawab Jacqueline.

"Oh, sekarang kamu ingin melawan aku?" Adian menarik lehernya hingga sekarang wajah Jacqueline benar – benar menengadah dengan terpaksa kepada wajah pria itu.

"Adian, kalau kamu menginginkan uang lebih banyak..." sekarang Jacqueline tidak bisa bernapas karena tangan pria itu sudah mencengkram lehernya kuat – kuat.

"Yang aku inginkan wanita jalang adalah hak aku kembali!"

"Lepaskan aku," gumam Jacqueline. "Atau aku akan berteriak."

Adian menekankan pegangan tangannya di leher Jacqueline lalu menarik rambut Jacqueline kedepan dan menghantamkan kepala Jacqueline ke dinding.

Jacqueline merasakan sakit yang begitu tajam di kepalanya dan untuk sesaat ia pikir ia kehilangan keseimbangannya karena hantaman kepalanya ke dinding.

"Adian, aku mohon, aku akan memberikan lebih banyak uang."

Adian lalu memberikan tatapan menghina, "Kamu akan menjual diri kamu? Karena hanya itulah satu – satunya cara kamu mendapatkan lebih banyak uang! Wanita jalang seperti kamu tidak..."

Lalu Jacqueline mendengar bunyi pintu terbuka dan Adian dengan tatapan bingung menatap Warren yang keluar dari apartemennya. "Jack?" Warren menyipitkan matanya dan melihat Jacqueline terperangkap diantara pria yang ia tidak kenal dan dinding.

"Pak Warren..."

"Kamu benar – benar menjual diri kamu sekarang? Tidak heran kamu tidak mengizinkan aku masuk tadi Jacqueline," Adian tertawa dan menatap Warren dengan tatapan hina.

"Jack?" Warren dengan bingung menatap Jacqueline dan pria dihadapannya.

"Adian, please, aku..."

Adian melepaskannya dan berjalan menuju Warren. Adian adalah pria yang besar dan dapat membuatnya benar – benar takut, namun ketika Adian berjalan ke arah Warren, ia menyadari kalau Warren jauh lebih besar dan lebih tinggi daripada Adian – dan entah mengapa hal itu membuatnya menjadi tenang dan aman.

"Adian Maison, loe pria yang ngebayar tubuh wanita jalang ini?" tanya Adian dengan begitu sombong kepada Warren.

"Saya suami-nya. Anda siapa?"

Jacqueline menutup matanya, bukan karena kata – kata Warren yang membuatnya terkejut, tapi ia menutup matanya, hanya untuk berharap kalau Adian tidak mengatakan siapa dirinya dan apa hubungannya dengan dirinya.

Jangan katakan Adian. Jangan katakan. 

EAT, METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang