TUJUH PULUH

183K 17.5K 2.4K
                                    

                 

            Dua jam sebelumnya...

"Ada dimana Kak?" tanya Alle kepada Warren di telepon ketika akhirnya Warren mengangkatnya. Sudah empat kali Alle berusaha untuk menelepon kakaknya namun Warren tidak mengangkatnya. Ketika akhirnya Warren menjawab, ia tahu kalau kakaknya sama sekali tidak senang, "Apa?" tanya Warren dengan galak.

            "Dimana?" balas Alle dengan pertanyaan lainnya sampai kakaknya menjawab pertanyaannya.

            "Mau apa Le?" tanya Warren sama sekali tidak ingin menjawab pertanyaan Alle dan dimana ia berada bukan urusan adiknya sama sekali.

            "Loe keterlaluan Kak, segitu cintanya loe sama Catherine sampai loe nggak tahu kalau Jacqueline ada di rumah sakit?" kali ini Alle akhirnya berhenti berbasa – basi dengan kakaknya dan langsung mengatakan apa yang ia ingin katakan.

            Ibunya memberitahu dirinya kalau Jacqueline masuk ke rumah sakit dan mengalami luka dalam yang cukup parah, ketika Alle mengetahuinya ia ingin langsung terbang dengan pesawat pertama pulang ke Indonesia untuk mengetahui keadaan Jacqueline. Bagi Alle, Jacqueline adalah adiknya dan ia ingin menjaga Jacqueline seperti ia menjaga Sienna, adik kandungnya sendiri.

            "Gue di Morocco Kak untuk syuting dan Mama sepertinya sangat khawatir dengan keadaan Jacqueline. Loe sekarang dimana?" tanya Alle lagi.

            "..."

            "Loe denger gue kan Kak?" tanya Alle sekali lagi, "Jacqueline masuk rumah sakit. Mama telepon gue karena dia udah nggak tahu lagi mau cerita sama siapa. Gue asumsikan Mama nggak cerita sama loe Kak."

            "..."

            "Kak?"

            "I got to go now Le," dan Warren pada saat itu juga mematikan teleponnya dan berkata kepada supirnya yang sedang menyetirkannya ke arah kantor, "Putar balik Pak Rahmat, ke arah rumah sakit."

*

            Dua jam setelahnya...

Bodoh, katanya kepada dirinya sendiri. Bodoh, terus ia mengulangi kata itu ketika ia akhirnya meninggalkan Jacqueline dengan surat perceraian di kaki ranjang wanita itu sebelum keluar dari kamarnya.

            "Kemana Pak?" tanya supirnya yang sudah menjemputnya lagi di lobi rumah sakit ketika ia duduk di dalam kursi penumpang.

            "Kantor," jawabnya seolah – olah hanya itu yang dapat ia pikirkan.

            Bodoh, apa yang sebenarnya ia lakukan?

            "Macet tapinya Pak Warren jam segini, tidak apa – apa ya Pak?" tanya Pak Rahmat ragu, karena waktu sudah menunjukkan jam macet yang ia sebenarnya tahu namun Warren tidak peduli.

            "Jalan saja Pak Rahmat," perintah Warren sebelum kembali pikirannya melayang ke tiga puluh menit sebelumnya. Apa yang sebenarnya telah ia lakukan?

            Warren menatap keluar jendela mobilnya dan hujan mulai turun membasahi jalan raya dan kaca jendelanya. Untuk sesaat keheningan itu terjadi dan Warren dapat berpikir dengan jelas. Ia baru saja melakukan kesalahan terbesar di dalam hidupnya.

            Handphone-nya berdering memecahkan keheningan di dalam mobil itu dan Warren tidak ingin menjawabnya walaupun ia tahu siapa yang meneleponnya. Mungkin kalau Catherine meneleponnya sebulan yang lalu pada saat yang sama seperti ini, ia akan mengangkatnya, namun sekarang – ada sesuatu yang berubah, dirinya berubah.

            "Putar balik Pak Rahmat."

            "Tapi Pak Warren, kita sudah kena macet. Putaran berikutnya setidaknya memerlukan satu jam sebelum kita sampai lagi ke rumah sakit."

            "Putar balik saja Pak Rahmat." Sudah dua kali ia meminta supirnya memutar balik mobilnya, dan dua kali juga Warren merubah pikirannya.

*

            "Kamu sedang apa berdiri dari ranjang kamu dan berjalan - jalan?" Jacqueline terkejut ketika ia mendengar suara pria itu lagi setelah Warren meninggalkannya dua jam yang lalu dengan surat perceraian yang pria itu lemparkan kepadanya.

            "Kalau aku mimpi sekarang, ini bukan mimpi yang aku inginkan," gumam Jacqueline kepada dirinya sendiri berusaha untuk membuat dirinya sendiri sadar.

            "Mana ibuku?" tanya Warren yang tidak mendapati ibunya berada di dalam ruangan bersama dengan Jacqueline kembali.

            "Pulang, bukannya sudah selesai hubungan kita?" jawab Jacqueline dengan begitu datar, membuat Warren berpikir kalau sebenarnya perempuan yang sekarang berdiri dihadapannya sama sekali tidak memiliki perasaan sama sekali.

            "Tidak," jawab Warren dengan cepat dan dengan nada tegas. "Bagian mana dari hubungan kita yang selesai Jack?"

            "Pak Warren, anda kembali lagi kesini untuk apa?" tanya Jacqueline dengan bingung. "Anda mau surat – suratnya sekarang? Saya bisa memberikannya kepada anda."

            "Sekarang kamu kembali memanggil aku dengan sebutan Pak, Jack?" tanya Warren sama sekali tidak peduli apakah Jacqueline sudah menandatangani surat peceraian mereka atau tidak. Bukan itu alasannya kembali ke kamar Jacqueline.

            "Saya tidak mengerti, bukannya dari dulu saya selalu memanggil anda seperti itu?" tanya Jacqueline.

            "Sialan, tapi tidak ketika kamu berada di ranjangku Jacqueline!"

            "Apa yang anda mau Pak Warren?" Jacqueline meringis ketika ia menyadari ia telah berdiri terlalu lama dan perutnya kembali merasakan rasa sakit yang tajam. Ia tahu kalau seharusnya ia tidak berdiri, namun tadi Jacqueline merasa ia memerlukan sedikit udara untuk menenangkan pikirannya setelah Warren meninggalkanya dengan surat perceraian mereka.

            Warren berjalan mendekat dan berusaha untuk menangkap Jacqueline sebelum Jacqueline jatuh kebelakang namun wanita itu menyingkirkan tangannya dan bergumam dengan lemah dan kesakitan, "Jangan sentuh aku."

            Warren menatap Jacqueline dengan bingung sementara Jacqueline berjalan mundur menjauhi Warren, "Aku tidak mau kamu sentuh."

            Warren yang tidak tahu apalagi yang bisa ia perbuat akhirnya hanya dapat berkata, "Aku kesini hanya mau bilang sesuatu."

            "Kalau Pak Warren akan kembali bersama dengan Bu Catherine?" tanya Jacqueline.

            "Kalau aku salah, tapi sepertinya kamu mau mendengarkan aku," Warren baru saja ingin membalikkan badannya dan mengurungkan niatnya untuk mengatakan semuanya kepada Jacqueline, namun ketika ia merasakan tangan Jacqueline yang menarik punggung kemejanya ia tahu kalau perempuan itu tidak menginginkannya untuk pergi.

            "Jangan pergi," bisik Jacqueline, "Tapi jangan tatap aku, kamu hadap kesana saja, aku jelek ya. Aku tahu kamu juga tidak ingin melihatku seperti ini..."

            "..."

            "Kalau aku bilang aku mau kamu disini bersama aku, kamu percaya? Bodoh, karena aku sepertinya membutuhkan kamu ketika kamu sama sekali tidak memerlukan aku."

            "..."

            "Aku... takut."

            "..."

            "Karena sepertinya, aku sudah mencintaimu," lalu Jacqueline melepaskan tangannya dari punggung kemeja Warren dan berkata untuk terakhir kalinya, "Hanya itu saja yang aku ingin katakan, sekarang kamu bisa berjalan dan meninggalkan aku, jangan tatap aku lagi, jangan lihat kebelakang, karena aku akan menjadi masa lalu kamu."

*

EAT, METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang