LIMA PULUH SEMBILAN

156K 13.6K 651
                                    

Tidak selalu aku membencinya...

Dua hari kemudian, di dalam kehidupan Jacqueline dan Warren, selama waktu itu, anehnya mereka berhenti bertengkar. Mereka berhenti mengatakan hal – hal yang tidak masuk akal dan untuk sesaat segalanya terasa begitu normal.

Seakan – akan mereka adalah sebuah...

Keluarga.

Dan hal itu membuat Jacqueline takut.

Pagi itu ketika ia tersadar ia kembali terbangun di kamar Warren, Jacqueline dengan perlahan – lahan menyingkirkan tangan Warren yang berada di perut telanjangnnya dan memakai kemeja pria itu yang berada di lantai menuju kamar mandi.

Jacqueline bergumam kepada dirinya ketika ia menatap wajahnya sendiri di cermin dan berkata, "Oh Tuhan..."

Semalam mereka melakukannya lagi, dan entah bagaimana dan mengapa, tapi Jacqueline maupun Warren menyukainya. Sekarang Jacqueline berusaha untuk menyadarkan diri sendiri dengan kembali bergumam "Jack, hanya dua minggu." Lalu ia mengulanginya lagi dan lagi untuk memastikan ia mengerti apa yang ia katakan.

Ketika ia berjalan keluar dari kamar mandi menuju kamar Warren, ia sudah mempunyai tekad bulat untuk pergi secepat ia masuk kemarin malam dan kembali ke kamarnya. Namun Warren sudah terbangun dari tidurnya dan dua kata pertama dari mulut pria itu adalah, "Mau kemana?"

Jacqueline harus menahan napasnya ketika ia menatap pria itu. Sangat seksi, pikirnya. Sejak kapan Jack! Sejak kapan Warren Tjahrir menjadi sangat seksi? Jacqueline berpikir kalau dirinya mungkin sudah gila dan tidak waras.

Ia harus keluar.

"Itu kemeja aku yang kamu pakai Jacqueline," sejak kapan namanya berubah dari Jack ke Jacqueline?

"Huh?" jawab Jacqueline seperti orang idiot yang tidak bisa berpikir.

"Kamu mau kemana? Ini masih pagi."

"Ak-Aku? Kamar," jawabnya seperti anak tujuh belas tahun yang tidak pernah bertemu dengan pria sebelumnya.

"Sebelum aku kesana, sebaiknya kamu yang kesini Jack dan kembalikan kemeja aku."

Jacqueline lalu memandangi seluruh ruangan dan mencari baju yang kemarin ia pakai namun ia tidak bisa menemukannya. Ia tidak ingat sama sekali kemana ia menaruh pakaiannya – atau dimana Warren melepaskannya.

"Baju kamu ada di ruang kerja aku dibawah Jacqueline. Kamu tidak ingat kita pindah ruangan?" Warren menyadari apa yang sedang dicari Jacqueline dan pria itu tersenyum melihat tingkah laku Jacqueline yang sepertinya benar – benar tidak ingat dengan apa yang mereka lakukan kemarin malam.

"Aku akan mengembalikan kemeja kamu setelah ke kamar aku," bisik Jacqueline seakan – akan Warren begitu menakutkan baginya sehingga suaranya terdengar begitu kecil diruangan itu.

"Tidak," jawab Warren.

"Max sebentar lagi akan bangun," Jacqueline membuat alasan sekarang yang terdengar lebih seperti alasan untuk melarikan diri dari tatapan Warren daripada alasan yang masuk akal, "Dan... um... aku banyak kerjaan hari ini. Oh Tuhan, tesis-ku, aku belum menyelesaikannya."

Warren terlihat begitu menakjubkan untuk usianya, dadanya yang bidang terlihat begitu kontras dengan seprai putih yang ditiduri pria itu, ketika pandangan Jacqueline turun ke perut Warren yang sama indahnya, Jacqueline menggigit bibirnya, dan ketika Jacqueline menatap rambut – rambut halus di pusar Warren turun ke...

Jacqueline hanya dapat menutup matanya dan berusaha untuk tidak mengingat apapun mengenai semalam.

"Aku harus pergi."

"Pengecut," balas Warren dengan senyum kemenangan di bibirnya.

"Aku tidak tahu ini adalah permainan bagi kamu," balas Jacqueline.

"Aku tidak tahu kamu menjadi lemah hanya karena ini. Mana Jacqueline aku yang sinis dan bermulut tajam? Aku menginginkannya diranjangku," balas pria itu. 

EAT, METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang