[MOIS XI] - Waiting Outside

3.6K 428 31
                                    

Suasananya tampak kacau.

Darah dimana mana dan kerusakan terlihat sangat parah. Aku berdiri dengan tatapan datar menatap peperangan di hadapanku.

Juga pada Pangeran Lucien, yang terluka dan akan segera mati. Ia di kepung dan hanya menjadi mainan mahluk mahluk itu saja.

Bukankah lebih baik jika aku membantunya mengakhiri hidup yang tampak kejam ini?

Aku tersenyum sinis dan berjalan mendekatinya. Semua mahluk itu menyingkir. Ku ambil belatiku dan ku tancapkan pada jantungnya.

"Li--ly!"

"Beristirahatlah dengan tenang, Pangeran." bisikku.

•••

Aku tersentak. Apakah itu hanya mimpi??

Tapi... kenapa itu terasa dekat dan nyata?

Kenapa juga aku melakukan hal itu?? Pembunuhan?!

Astaga!!

Aku melirik ke sekitar dan melihat jam di sebelah tempat tidurku. Pukul dua pagi. Terlalu pagi untuk bangun. Kalau seperti ini aku pasti tidak akan bisa tidur.

Aku mendesah, bagaimana ini?

Saat saat seperti ini, aku kembali memikirkan Peter. Rasanya aku tidak lagi teringat padanya tapi jika aku memikirkannya, rasanya seperti... ada lubang yang besar di hatiku.

Sakit.

Meski dengan penghianatan juga kebohongannya di akhir hayat, tetap saja aku masih mengingat bagaimana ia membantuku di masa sulitku.

Membahagiakan aku.

Walaupun itu mungkin hanya kebohongan.

"Kenapa kau tidak tidur?"

Sebuah suara terdengar dari sekitarku. Aku tidak bisa melihat dengan jelas karena lampu di matikan tapi aku mengenali suara itu.

"Azriel?"

Ia mendekat, "Ada apa?"

Aku menggeleng, "Apa kau terus berada di sini semalaman?"

Ia hanya tersenyum kecil lalu meletakkan tangannya di wajahku, "Kau berkeringat. Apa kau bermimpi buruk lagi?" tanyanya.

Aku mengangguk.

Ia duduk di sebelahku, menatapku.

"Az--"

"Diamlah." ia memelukku. "Dan tidurlah. Aku akan berada di sini."

Aku menutup mataku dan mencoba untuk tertidur. Cara ini selalu saja ampuh untuk membuatku tertidur. Azriel.

•••

Ketika aku terbangun, aku menyadari bahwa Azriel telah pergi.

"Azriel?" panggilku.

Aku berjalan keluar dan mencari Azriel. Tapi aku bertemu dengan Kaya.

"Kaya, apa kau melihat Azriel?"

"Ah, Pangeran baru saja pergi."

"Pergi?" aku terdiam. "Pergi kemana?"

Kaya menggeleng, "Aku tidak tahu."

Aku mengangguk, "Baiklah, beri tahu aku jika ia kembali."

Aku menunggu Azriel di taman bunga tulip. Tapi hingga fajar tiba, ia tidak juga kembali.

Kaya telah menawariku berbagai aktifitas yang dapat aku gunakan untuk menghabiskan waktuku selagi menunggu Azriel. Tapi semuanya membosankan. Aku tidak bisa.

"Cara, kau harus masuk. Jika yang mulia tahu kau menunggunya seperti ini, ia akan sangat marah." desaknya.

Tidak lupa, selain menawarkan makanan untukku setiap jam, ia juga memaksaku masuk ke istana.

"Azriel tidak akan marah. Aku menyukai pemandangan di sini, ia pasti tahu itu." aku tersenyum. "Kembalilah bekerja, aku akan masuk sebentar lagi."

Kaya menghembuskan nafasnya, "Baiklah, aku akan mempersiapkan air untukmu."

Aku menatap kepergian Kaya. Lalu kembali memandangi pemandangan yang ku suka. Tapi entah mengapa aku selalu memikirkan Azriel.

Apa yang ia lakukan hari ini?

Kenapa ia pergi tanpa memberi tahuku?

Atau kenapa ia tidak juga kembali?

Semua pertanyaan pertanyaan itu memenuhi otakku. Hingga aku tidak bisa tertidur. Entah jam berapa aku terlelap, tapi terlelap pun bukan solusi untuk melupakan Azriel.

Aku kembali bermimpi buruk yang lagi lagi membuatku terbangun.

Tapi rasanya... aku kesepian.

Mimpi itu sama. Hanya saja dengan cara yang berbeda. Seolah aku pernah melihatnya tapi entah dimana atau bagaimana.

Atau mungkin memang itu hanyalah mimpi atas seluruh ketakutanku saja.

Tapi di mimpi itu, aku melihat seorang gadis dengan harpanya. Aku tidak tahu ia siapa, tapi ia memandangku seolah ia berada dalam mimpi yang sama. Seolah itu bukan hanya sekedar mimpi biasa.

Mungkinkah ia mendatangi mimpiku?

Ah! Apa yang kau pikirkan Cara? Itu tidaklah mungkin. Mana ada hal seperti itu di dun--.

Mungkin saja jika di dunia ini.

"Astaga, aku bisa gila!" desahku frustasi.

Aku mencoba untuk kembali tidur dengan menatap langit langit kamarku, tapi aku tidak dapat terlelap. Rasanya aku terus memimpikan mimpi aneh itu.

Aku melihat jam dan lagi lagi pukul dua pagi. Aku berdiri dan menghidupkan lampu kamarku.

Tidak ada Azriel.

Mana mungkin ia ada di sini kan?

Aku berjalan keluar kamarku, menyusuri lorong lorong kerajaan yang seperti sangat ku kenali, entah bagaimana.

Langkah kaki dan pikiranku membawaku ke kamar Azriel.

Tepat saat aku berada di depan pintu kamarnya, aku menjadi ragu untuk mengetuk pintu. Hanya khawatir jika aku mengganggunya atau bagaimana jika ia tidak suka aku datang kemari.

"Kenapa kau hanya diam saja?"

Aku membeku.

Itu... itu... suara Azriel!

Di... di belakangku!

"Cara, ada apa?" ia meletakkan tangannya di bahuku. "Apa kau bermimpi buruk lagi?"

Aku berbalik dan langsung memeluknya, "Ya." bisikku. "Aku takut. Aku takut, Azriel. Aku takut."

Ia mengelus punggungku, "Shh, tenanglah Cara. Ada aku di sini. Tidak akan ada yang menyakitimu."

Aku mengeratkan pelukkanku, "Tapi kau pergi. Aku khawatir padamu. Kenapa kau sangat lama kembali? Bahkan hingga aku terlelap, kau tak kunjung kembali."

"Cara.. aku di sini. Tenangkan dirimu. Sekarang aku telah kembali. Aku pasti kembali. Tenanglah." ia meletakkan dagunya di kepalaku. "Ayo, kau harus kembali ke kamarmu."

Aku menguatkan pelukanku, "Nanti saja. Biarkan aku memelukmu seperti ini sebentar." bisikku. "Biarkan seperti ini sebentar saja."

Aku menutup mataku dan tanpa terasa, aku pun mulai terlelap dalam pelukkannya.

•••

Chapter ten has been posted.
120616

MIRROR: The Cracked MirrorWhere stories live. Discover now