[SOLEIL XXIII] - White Horse Prince

2.9K 380 20
                                    

Aku diam dan tak bisa berkutik. Seandainya Lucien tidak terluka karena kebodohanku, ia pasti akan menyelamatkanku saat ini.

Begitu juga Pangeran Aldric jika saja ia tidak kecewa padaku.

Tapi sejujurnya aku tidak membunuh Lucien. Aku melesetkan seranganku tidak pada jantungnya. Entah kenapa aku lakukan itu, yang jelas aku hanya teringat kata kata Sylena jika aku ingin merubah takdirku.

Maka dari itu aku bersahabat dengan mereka dan rasa tidak tega itu muncul. Aku tidak membunuhnya karena ia adalah temanku. Karena membunuhnya adalah hal yang ku lakukan di mimpiku.

"Kau bisa mengalahkan Thylane. Tapi mengapa sekarang kau tampak seperti pengecut?" ia menaikkan sebelah alisnya.

"A... Azriel... ku... kumohon!" aku tidak mampu berbicara saat ia mencengkram leherku.

Azriel melumpuhkan kedua kakiku dengan menusuknya dengan pisau. Amat menyakitkan tapi jika aku manusia, mungkin aku akan menderita.

Belatiku sudah terjatuh dari tadi. Saat ini aku hanya bisa memegangi tangannya dan berusaha membuatnya melepaskan leherku namun tetap saja itu dak bisa aku lakukan.

Semakin aku mencoba, semakin kuat pula cengkramannya.

Aku tidak bisa berkutik karena panik. Aku merasa ini adalah akhir dari segalanya. Aku bahkan tidak berpikir untuk menyerangnya dengan Aurora yang aku punya! Tapi jika sudah begini, mau bagaimana lagi?

Menyerangpun akan percuma. Malah mungkin jadi mati bersama.

"Az..." aku sudah memucat. "Le... pas."

"Aku tahu aku sudah berbohong padamu. Tapi aku tidak pernah berpura pura untuk melindungimu. Karena kau sudah seperti adikku sendiri. Sayangnya, kau sudah tahu semuanya. Jika kau tahu, maka kau harus mati." desisnya.

Aku tak sanggup lagi menahan tangannya, tubuhku lemas dan kedua tanganku sudah terkulai di samping tubuhku.

Saat itulah entah bagaimana caranya, Pangeran Aldric datang dan melemparkan belatinya hingga melukai Azriel. Hal itu membuatnya melepaskan cengkramannya padaku.

"Sial!" desisnya seraya memegangi hidungnya yang terluka.

Perlu di ketahui, kekuatan penyembuhan Nephilim tidak secepat Vampire. Kekuatan penyembuhan tercepat dapat di lakukan oleh Vampire, lalu Malaikat dan Iblis yang memiliki penyembuhan yang sama, terakhir adalah Penyihir dan Elf dengan tingkat yang sama.

Baru di bawahnya ada Setan dan Nephilim.

Aku tidak pernah melihat wujud asli Setan, tapi ku rasa tak perlu. Ia akan sangat menyeramkan, aku yakin sekali.

"Maaf aku terlambat, My Lady." Aldric menatapku.

Aku tersenyum lemah, "Terima kasih." bisikku tanpa suara.

Azriel mulai menyerang Pangeran Aldric dan begitu juga sebaliknya. Aku sendiri berusaha berdiri namun sia sia. Aku tidak sanggup, jadilah aku terduduk di lantai ini seraya memegangi leherku yang amat sakit.

Ku lihat Pangeran Aldric melempar Azriel ke dinding namun Azriel memiliki pertahanan yang bagus, ia tidak terjatuh, namun sedikit terdorong ke belakang akibat serangan Pangeran Aldric.

Pangeran Aldric pun mengeluarkan Auroranya. Ia membuat udara sekitar menguap seketika. Aku terbatuk batuk begitu juga Azriel.

Mendengar suara batukku, Pangeran Aldric menghentikan tindakannya. Sepertinya ia lupa bahwa aku juga Nephilim yang bersifat setengah Manusia dan tidak dapat hidup tanpa udara.

Saat Pangeran Aldric lengah, saat itu juga Azriel menyerangnya.

Pangeran Aldric terpojokkan, Azriel berhasil membuatnya sama tak berkutiknya dengan diriku saat ini.

Apa yang harus aku lakukan?

Aku tidak bisa membiarkannya mati. Tidak lagi di hadapanku, jangan lagi orang yang ku cintai.

"Jika kau ingin jadi pahlawan, pastikan kekuatan lawanmu, Pangeran." desis Azriel.

Pangeran Aldric menatapnya tajam, "Aku tidak ingin jadi pahlawan tapi jika membunuhmu membuatku jadi pahlawan, aku sungguh tersanjung dengan itu."

Azriel tampak marah dengan perkataan Pangeran Aldric.

"Sepertinya kau ingin mati lebih cepat." dan Pangeran Aldric meringis kala Azriel menguatkan cengkramannya. "Kalau begitu, matilah."

Azriel menusuk Aldric dengan belati perlahan.

Aku berusaha agar bisa mengkonsentrasikan diriku saat ini. Aku memejamkan mataku dan melupakan hal di hadapanku saat ini.

Azriel harus mati.

Ku gerakkan tangan ku ke arahnya dan ku tarik ia mundur perlahan.

"Apa ini?"

Pangeran Aldric terbatuk batuk

"Cara Nicole!" desisnya.

Sesaat setelah ia menyadari bahwa itu adalah ulahku, aku menggenggam erat tanganku dan saat itulah, aku menyadari betapa menyakitkannya kematian itu.

Ku lihat Azriel terjatuh dan aku tahu bahwa ia sudah tiada.

Pangeran Aldric tampak benar benar sekarat di bandingkan aku.

"Pangeran?" panggilku.

Pangeran Aldric tidak membalas panggilanku. Apa ia tidak sadarkan diri?

"Pangeran?" ulangku dan ia masih tak merespon panggilanku.

"Pangeran!" aku segera merangkak ke arahnya. "Bangunlah, Pangeran. Kau dengar aku?"

Air mataku nyaris jatuh jika aku tidak menahannya. Ia tidaklah mati kan?

"Pangeran.."

Sedikit lagi..

Aku bisa menggapai tangannya sedikit lagi. Tapi aku sudah tidak sanggup merangkak. Ku cabut pisau pisau yang menancap di pahaku.

Aku berusaha sekali menggapai jari tangannya yang hanya beberapa centi lagi dari jariku. Tapi kemudian, seseorang datang.

"Habisi ia dengan cepat." perintah orang itu.

"Bagaimana dengan yang satunya?"

"Tampaknya ia juga sudah tak bernyawa. Yang penting adalah membunuhnya. Tugas kita adalah membunuh Cara Nicole jika ia berkhianat."

"Siap!"

Apalagi ini?

"Tunggu!" gadis itu kembali bersuara. "Aku saja yang menyelesaikannya."

Aku melihat wajahnya ketika ia mendekat, ia tidak asing. Bukankah ia pemimpin pertahanan Nephilim? Basilk.

"Maafkan aku, Cara Nicole. Tapi ini tugasku untuk mengakhirimu di sini."

Basilk mengangkat pedangnya dan menusukku.

Aku tersentak. Apa ini rasanya kematian?

"Aku terlambat, ternyata." itu... Thylane. Untuk apa ia di sini? "Basilk, maafkan aku, tapi aku juga tidak berada di pihak yang sama lagi dengan kalian."

Dengan senyumannya, Thylane menerjang Basilk dan mereka tampak akan menghabisi satu sama lain. Namun jelas Thylane lebih unggul di bandingkan dirinya.

Aku sudah tidak sanggup mempertahankan mataku untuk tetap terbuka.

Lalu ku dengar suara pukulan yang lainnya, "Zavent Rayes Espensa, berkhianat juga rupanya?" sindir Thylane.

"Tidak!" itu suara Zavent. "Aku tidak berkhianat tapi aku melindungi kakakku untuk membalas hutang budiku. Jika ia memang harus mati dihadapanku suatu hari nanti, setidaknya aku sudah membalasnya dengan cara yang sama."

Thylane mendengus, "Teruskan nostalgia kalian, aku akan biarkan Basilk hidup kali ini, tapi tidak ada yang tahu untuk ke depannya bukan?" sindirnya.

Lalu ku rasakan seseorang mengangkatku dan membawaku pergi karena aku tidak lagi merasakan dinginnya lantai menusuk tulang. Namun dinginnya kematianlah yang tak lagi dapat ku hindari.

"Bertahanlah, Cara. Kau memberiku kehidupan sekali dan aku memberimu kehidupan sekali. Bukankah kita impas?"

•••

Chapter twentytwo has been posted.
100716

MIRROR: The Cracked MirrorWhere stories live. Discover now