PROLOG.

54.5K 1.6K 34
                                    


Ayash memandang ke luar jendela pesawat, tersenyum tipis melihat gumpalan-gumpalan awan di langit yang begitu biru. Lima tahun bermukim di London, kini ia dalam perjalanan pulang, baru sekitar tujuh jam lagi dia tiba di rumah dan berkumpul bersama keluarganya.

Pesawat yang ditumpangi Ayash akhirnya mendarat di landasan bandara Internasional Soekarno Hatta. Terminal dua penuh orang asing bertubuh tinggi besar yang membawa ransel. Orang-orang dari negeri sendiri pun tak kalah banyak.

Waktu menunjukkan pukul empat sore ketika pesawat mendarat. Ayash melalui proses imigasi dan pengambilan bagasi dengan gelisah. Keluarganya belum menghubungi Ayash sejak ia tiba di bandara.

"Aa ...!"

Suara itu membuat Ayash berbalik dan tersenyum lebar. Seorang perempuan berjilbab biru berlari dengan gembira ke arahnya sesekali berkelit menghindari tabrakan di tengah keramaian. Ayash merentangkan tangan. Perempuan itu langsung menghambur ke pelukan Ayash.

Ayash tertawa bahagia, keduanya berpelukan erat sembari meluahkan segala kerinduan yang sudah tidak terbendung sejak lima tahun ini.

***

Rumah bertingkat satu dengan halaman yang dulunya hanya ditumbuhi pohon mangga kini tampak semarak ditumbuhi aneka bunga. Tak hanya itu, ada sebuah kolam berisi beberapa spesies ikan koi berenang di sana. Membuat halaman rumah tersebut terkesan sejuk dan damai.

Bagian dalam rumah pun tidak ubahnya seperti dulu. Hanya ada beberapa perabotan yang dipindahkan ke bagian lain. Bahkan di sudut ruangan terdapat poto keluarga yang lengkap dengan penghuni-penghuninya. Poto lama. Namun, terlihat seperti masih baru dan terjaga.

Ayash duduk di salah satu sofa ruang tamu, rasa lelah setelah perjalanan di pesawat masih terasa, ia memilih untuk meluruskan kakinya sebelum berangkat ke masjid. Langit sudah menggelap dan azan magrib sebentar lagi akan berkumandang.

Anna kembali dari dapur membawa lima gelas teh hangat juga sepiring kue brownies di atas nampan. Ayash membuka mata dan duduknya langsung tegak. Dia mengambil teh manis itu dan menyeruputnya pelan.

"Lelah, A?" tanya sang ibu begitu Ayash selesai menyesap teh di dalam cangkir dan menyisakan setengah.

"Nggak lelah, yang lelah itu nahan kangen sama Umi dan Abi, hehe," jawab Ayash,  membuat semua yang ada di sana tertawa.

"Karena Aa sudah pulang. Gak ada niatan buat cari istri nih?"

Itu celetukkan Anna, Ayash mah kalem saja dikatain begitu, sudah kebal.

Ayash mendelik pada adiknya. Ia tak mau kepulangannya hari ini berakhir tragis hanya karena kata-kata keramat yang kerap membuatnya menghela napas beberapa saat. Memang usianya sudah cukup pas untuk menikah, tapi pertanyaan seperti itu diucapkan di waktu yang salah. Memangnya keluarganya mau Ayash pergi dari rumah lagi?

Ada baiknya berhenti bertanya 'kapan' kepada ia yang belum menikah, sekali pun hanya bercanda. Sebab jodoh, rizqi dan kematian adalah rahasia Allah dan kita, sama sekali tak tahu menahu hal seperti itu, 'kan? Ghaib sekali.

"Aa mau nikah? Anna ada kenalan nih. Mau gak?" tanya adiknya lagi, membuat Ayash jengkel saja.

"Aa bakal nikah kalau sudah siap."

"Kapan siapnya kakak ipar?" itu celetukan Hikam. Suami Anna. Lihat saja sekarang, kedua orang itu kini tampak menyudutkan Ayash. Seakan hanya dirinya saja yang jomblo di dunia ini.

"Hakikatnya, cinta itu mengikhlaskan bukan memaksakan. Kalau belum siap nikah. Ya, lebih baik diikhlaskan bukan dipaksakan."

Ayash membela diri. Teh dalam cangkir itu kembali diseruputnya, ternyata ada yang lebih harus dipersiapkan ketika dirinya pulang ke rumah bukan hanya kerinduan, tapi juga kekuatan untuk menjawab segala komentar keluarganya.

Sejauh ini Ayash tetap berhusnudzon pada ketetapan Allah. Usia, jodoh, rizki, dan kematian itu pasti kedatangannya. 

"Angka penceraian semakin meningkat. Menjadi pembelajaran buat Aa sendiri bahwa persiapan fisik, mental, dan ilmu itu penting. Menikah memang mudah, tapi kehidupan setelah pernikahanlah yang harus dipersiapkan matang untuk menjadikan keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah."

Bagi sebagian orang. Ketika ditanya kapan nikah itu mungkin sangat menyakitkan dan menjengkelkan, makanya sebaiknya kita berusaha tidak ikut menanyakan hal itu. Bayangkan, orang yang masih jomblo dan tengah memantaskan diri diusik dengan kalimat demikian, sehingga membuatnya sulit mencari tulang rusuknya.

Jadi, mari kita belajar empati kepada para jomblo, karena jomblo juga ingin dimengerti.

"Oh iya, Aa akan bekerja di rumah sakit Bandung, mohon doanya, ya."

Ayash meminta ridha pada ayah dan ibunya. Ada gurat bahagia di wajah mereka yang sudah menua.

Selama lima tahun ini, ia bekerja di London sebagai dokter ahli bedah. Menahan rindu pada keluarga tentu bukan hal yang mudah, tapi kini ia telah menyelesaikan kontrak itu dan bisa kembali pulang ke negaranya. 

Ayash bersyukur keluarganya tetap sehat ketika ia kembali pulang ke Indonesia. Ayash bahagia masih diberi kesempatan oleh Sang Khalik untuk menghabiskan waktu bersama ayah dan ibunya.

"Semoga Allah kasih mudah." Ayahnya tersenyum. "Jadilah dokter yang amanah. Sertakan Allah dalam setiap kejadian. Manusia perancang yang baik tetapi Allah penentu terbaik."

Senyuman Ayash makin lebar, kalimat sang abi seperti tetesan embun yang jatuh dari langit. Menyejukkan.

"Lalu nikah?" Anna bertanya lagi, dia hanya ingin kakak lelakinya itu segera memiliki istri. Agar ibadahnya ada yang menyemangati, rezekinya diberkahi, dan yang terpenting tidak sendiri lagi.

"Nikah itu bukan cuma soal niat, tapi juga calon, sana gih cariin calonnya sekalian dana buat resepsinya," kata Ayash gemas. Anna manyun sebal.

"Sibuk mikirin nikah muda, siapa tahu yang duluan datang malah mati muda." Hikam ikut-ikutan tertawa dan langsung mendapat pukulan ringan sang istri di lengannya.

"Jangan bahas-bahas kematian dong! Aa baru pulang lho ini, masa kita mau ditinggalkan begitu saja?" Kali ini Anna bergidik membayangkan kematian. Anna tentu saja tidak ikhlas jika kakaknya meninggal dalam keadaan jomblo.

Ayash memang ridha dirinya dilangkahi sang adik. Lagipula, Ayash tidak keberatan dengan itu. Jika ada seorang lelaki baik bersedia menjadi imam untuk adiknya. Kenapa harus mengulur waktu untuk menerimanya?

Ya, walaupun pada akhirnya dia harus menjadi bahan candaan keluarganya. Mereka mungkin tidak tahu kalau hal itu mengganggu hati Ayash yang memang masih betah sendiri. Ayash bukannya tak mau mencari pendamping, dia hanya belum siap untuk mengikat anak gadis orang.

Ruangan itu terasa hangat oleh canda tawa, semuanya terasa lengkap. Kehangatan yang sudah Ayash rindukan sejak lama. Masalah menikah, Ayash akan memikirkan itu nanti. Lagipula, dia baru saja pulang. Mana mungkin langsung menikah begitu saja. Justru tugasnya di Indonesia akan lebih banyak.

Jodoh bukan tentang siapa yang cepat dia dapat. Tapi tentang bagaimana memantaskan diri dalam taat, karena jodoh akan datang di saat yang tepat.

Ah, Ayash tidak pernah tahu. Ada banyak kejutan yang menantinya, sesuatu yang mampu menguras emosi dan perasaannya demi mempertahankan satu nama yang menjadi pilihannya.

***

ISTRI IMPIAN ( R E M A K E )Where stories live. Discover now