41. Ramadhan halal

17.9K 748 36
                                    


"Namanya Hilal Ramadhan Fauzi."

Suara lelaki itu disambut oleh tepukan riuh beberapa orang yang hadir di sekitarnya, ruangan luas bercat putih seakan menjadi tempat perkumpulan dadakan bagi kerabat dan sahabat yang turut menyambut kehadiran anggota keluarga baru Anna dan Hikam.

"Nama yang bagus, lahirnya juga di bulan suci begini, selamat adik ipar!" Senyuman Ayash tercetak begitu melihat keponakan barunya yang sudah lahir ke dunia dua hari yang lalu, bayi laki-laki kedua dari Anna dan Hikam.

"Cepat nyusul juga, Afi. Umi tidak sabar menunggu." Aisyah tersenyum ke arah menantunya yang tersipu.

"In syaa Allah, satu bulan lagi, Ummi." Ayash merangkul pundak istrinya sembari tersenyum, menatap wajah istrinya yang selalu terlihat cantik di matanya.

"Gak nyangka dapet anak laki-laki lagi, padahal Abiyan maunya adik perempuan katanya." Anna bersuara begitu bayi dalam gendongannya di ambil alih oleh sang ibu.

"Kan bisa ikhtiar lagi, Mi," sahut Hikam.

Anna mencebik, "kalau laki-laki lagi gimana?"

Ayash tertawa melihat tingkah konyol adiknya, padahal adiknya itu sudah memiliki dua anak tapi sifatnya masih saja manja seperti dulu.

"Gak apa-apa kali, Na. Banyak anak banyak rezeki. Aa juga niatnya pengen punya anak selusin."

Lengan Ayash kena pukul, pelakunya Afifah.

Ayash meringis mengusap lengannya yang barusan dipukul sang istri, sementara itu keluarganya tertawa-tawa.

"Mas, apaan sih? Banyak banget, emang bisa ngurusnya gitu?" Afifah mencebikan bibirnya, menatap sebal ke arah Ayash.

"Biar banyak pejuang Allah, Sayang. Lagian rumah gak bakalan sepi kalau ada mereka, 'kan? Aku mah ngasih aja, kamu mah yang ngurusnya gitu."

"Ogah!" elak Afi cepat. "Mas saja yang lahirin, yang ini saja belum lahir." Afi berkata senewen di hadapan Ayash, apa Ayash lupa kalau ibu hamil itu moody-an, kenapa juga dia harus nyari gara-gara sama istrinya, sih?

Bukannya takut atau khawatir, Ayash justru gemas dengan istrinya ini, jika saja mereka sedang berduaan, pasti Ayash sudah membuat Afi tak berdaya di bawah kuasanya.

"Iya maaf, Ummi. Maafin Abi, ya." Senyumnya, lalu merangkul pundak sang istri tanpa merasa risi karena menjadi tontonan keluarganya.

***

Matahari yang semenjak pagi berdiri tegak di atas petala langit itu perlahan mulai turun, membawa serta sinarnya pergi digantikan oleh bulan yang kini bertengger manis di atas langit hitam pekat.

Angin malam pun berembus menerbangkan dedaunan yang jatuh, bersamaan dengan riuhnya tabuhan bedug di masjid setelah warganya selesai menjalankan salat tarawih.

"Puasa tahun ini sama kamu, ya. Lengkap banget, sama calon bayi kita lagi."

Ayash menyahut setelah melepaskan peci hitam di kepalanya, ia duduk di atas ranjang, sementara Afifah sibuk melipat selimut.

"Aku jadi kangen Ayah, biasanya aku puasa sama Ayah dan Alif."

Ayash tersenyum, ia menatap istrinya. Ada sedikit rasa iba yang menyusup di hatinya begitu melihat wajah sang istri terlihat menyembunyikan sesuatu.

Ayash tahu, sudah beberapa bulan mereka pindah rumah dan jarang berkunjung ke rumah Husein. Biasanya, jika ada acara saja mereka berkunjung ke rumah beliau. Bukan apa, Ayash terlalu sibuk dengan pekerjaan, mengharuskannya agar bisa membagi waktu untuk istri, pekerjaan, serta keluarganya.

Ayash masih milik ibunya, bukan?

"Sehat terus kesayangan Ummi."

Melihat istrinya tersenyum sembari mengelus perutnya yang di tempati janin berusia delapan bulan, Ayash semringah, ia mendekati istrinya dan duduk di tepi ranjang.

Afi ikut tersenyum lalu meraih tangan Ayash dan meletakannya di atas perutnya.

"Mas, suatu hari nanti, mungkin aku akan cemburu luar biasa padanya, karna kautelah berbagi pelukmu untuknya, Mas. Bahkan mungkin ia akan lebih sering memelukmu, daripada memelukku."

Afi tertawa kecil dengan kalimatnya. Ayash terenyuh mendengar utaian kalimat yang diucapkan oleh istrinya, inilah yang selama ini Ayash cari. Perhiasan dunia, bahkan melebihi dunia dan isinya.

Ada banyak makna di balik tatapan Ayash untuknya, ia balas tersenyum dengan tangan masih menempel di perut istrinya. "Jangan cemburu. Kamu bebas memelukku kapan pun kamu mau, menggenggam tanganku. Sampai kapan pun. Di hadapanmu aku tetap lelaki kecilmu yang boleh untuk kamu manjakan selalu. Tapi, di hadapan anak kita nanti, aku akan jadi lelaki dewasa bijaksana yang selalu menyayanginya. Kau tetap wanita terpenting dalam hidupku, begitupun dalam hidupnya. Karena dari rahim dirimulah terlahir sosok lelaki luar biasa seperti aku."

Sejatinya pernikahan bukan untuk membahagiakan, tapi untuk mencari keridhaan dunia dan akhirat, kita tak hanya menggenggam tangan pasangan kita di dunia, namun juga sampai Jannah-Nya.

Karena pada hari itu, dua orang yang saling mencintai akan saling memusuhi dan membenci, kecuali untuk mereka yang bertaqwa.

Karena itu carilah jodoh yang mau menerima segala kelebihan dan kekuranganmu. Hal ini lebih penting daripada jodoh yang sesuai kriteriamu. Karena jodoh yang sesuai kriteria belum tentu dapat menerima kekuranganmu. Jadi kamu pun harus memaklumi kekurangannya, karena tidak ada jodoh yang sempurna.

Cintailah orang yang juga mencintaimu. Jika kamu mencari sosok jodoh yang sempurnya maka seumur-hidup-pun kamu tidak akan dapat menemukannya.

"Mas, bersamamu aku semakin tahu. Bahwa cinta sejati tak akan pernah memaksa untuk saling terikat. Cinta sejati adalah cinta yang melahirkan keikhlasan. Ikhlas menerima segala ketentuan, asalkan yang dicinta bisa meraih bahagia, bahagia dunianya, terlebih akhiratnya. Meski kebahagiaan itu teraih ketika ia tak bersama kita."

Ayash terkekeh mendengar kalimat istrinya, suara tabuhan bedug masih terdengar, seiring dengan suara debaran hati Afifah di hadapan Ayash.

"Kau tahu? Kenapa aku mencintaimu?" tanya Afifah.

"Apa?"

"Karena agamamu, jika agama itu hilang dari hatimu hilang pula rasa cintaku padamu."

Entah mendapat kosa kata manis dari mana. Namun, kalimat sederhana Afifah sukses membuat Ayash melebarkan senyumnya lalu membawa istrinya dalam pelukan.

"Terima kasih, Kau tahu kenapa aku sulit mendekatimu dulu?"

"Kenapa?" tanya Afi dalam dekapan Ayash.

"Karena yang salihah lebih sukar didekati, tapi mudah untuk dinikahi."

Afi tergelak, "Bisa aja kamu, Mas."

"Ya, jika kamu mencari pasangan yang mampu memberi perhiasan mewah. Apalah dayaku yang berupaya memberimu keturunan shalih, shalihah?"

Tawa Afi pecah mendengar kalimat suaminya. Ayash merindukan tawa itu, tawa manis dari kekasih halalnya, karena sudah seminggu ini Ayash ditugaskan ke luar kota. Tentu saja Ayash sangat merindukan istrinya.

"Saat itu aku memuliakanmu dengan menjauhimu, duhai bidadariku. Semoga kamu tak gagal paham."

Afi tersipu, diacaknya rambut Ayash yang masih terasa basah oleh air wudhu, memeluknya lagi seakan pelukan seorang pasangan adalah tempat pulang yang menyenangkan.

***

ISTRI IMPIAN ( R E M A K E )Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin