24. Bintang yang tersenyum

11.8K 748 11
                                    

***

"Ayah, tadi Ayash ngapain ke sini?"

Afifah duduk di atas sofa setelah meletakkan tas ranselnya yang lumayan berat itu di atas meja. Ia baru pulang dari mengajar dan langsung memberondong sang ayah dengan pertanyaan karena penasaran.

Husein yang duduk di depan Afifah itu hanya bergumam, ia tidak sedikit pun mengalihkan pandangannya dari koran yang tengah di bacanya.

"Tidak apa-apa, hanya sekedar mampir saja."

"Ayash menanyakanku?" tanya Afifah, ada sedikit harapan di sebalik pertanyaannya pada Husein barusan.

"Tidak."

Ibarat tersayat sembilu, Afifah hanya bisa menghela napas ketika mendengar jawaban singkat dari sang ayah, ia tahu lelaki itu sedang mencoba melupakannya dan berusaha menjauh dengan perlahan. Meskipun Afifah merasa sedih dengan semua itu, ia akui ia tidak mengharapkan keadaan yang seperti ini.

"Kenapa, nak. Kau sakit?" Husein menatap cemas ke arah putrinya ketika dilihat nya wajah Afifah berubah pucat.

"Cuma lelah, ayah."

"Kau tak sedang memikirkan Ayash bukan?"

Pertanyaan Husein itu sanggup membuat Afifah terhenyak, "untuk apa mikirin dia?"

Husein hanya tersenyum kecil lalu kembali melanjutkan bacaanya.
"Kalian mungkin saling menjauh, tanpa sapa dan tanpa temu mesra. Tapi lihatlah, bukankah matahari juga begitu? Ia jauh namun cintanya tetap dekat. Menyilau menghadiahkan cahaya."

Ada rona-rona merah yang tercetak jelas di pipi gadis itu, Afifah diam salah tingkah. Namun apakah memang benar semua perkataan Husein itu? Ah, Ayash saja sekarang sudah kembali berubah menjadi manusia kutub utara yang beku, bagaimana mungkin Afifah mampu untuk mendekat, sekedar menyapa sebagaimana dulu mereka pernah dekat.

"Ayah jangan Ge'er. Ayash kalau tahu bisa makin keras kepala dia," Afifah mengelak dari semua dugaan Husein untuknya. Tidak mau menaruh harap yang muluk-muluk.

"Anak ayah sensi banget. Akui saja atuh. Bikin ayah senang kenapa?"
Demi rumah nanas Spongebob, Afifah tidak percaya dengan yang baru saja ayahnya ucapkan barusan. Biasanya sang ayah tidak terlalu mengungkit Ayash jika keduanya tengah mengobrol biasa. Namun kali ini? Apakah ayahnya itu sudah terpengaruh dengan pesona seorang lelaki kutub utara yang beku itu?

Ini menyedihkan.

"Ih, geli Ayah!" Afifah menekuk wajahnya. Husein memang suka sekali membangga-banggakan kebaikan orang lain meskipun Afifah berjuta kali membicarakan keburukannya.

"Putri ayah cantik, mana mungkin gak ada yang mau."

"Calon anak aku butuhnya ibu yang pintar bukan yang cantik, Ayah," komentar Afifah.

"Anak tak butuh ibu cantik, tapi abi nya butuh."

Ah, Afifah selalu kalah oleh sang ayah. Ia akui kehebatan Husein dalam menskak-mat putrinya tersebut sampai tak berkutik.

"Iya, iya. Kali ini ayah menang," Afifah pasrah, "lain kali aku akan belajar lebih giat lagi agar bisa mengalahkan ayah."

Husein tertawa, "tapi kalau ayah menang lagi kamu harus penuhi hukuman dari ayah."

"Apa? Cuci piring, ngepel lantai, bersihkan atap rumah, atau nguras bak mandi pake sedotan?" Afifah ikut tertawa juga.

"Bukan atuh, Nak," Husein menjawabnya dengan nada datar ketika putrinya itu malah menanggapinya dengan candaan.

"Lalu?"

"Menikahlah dengan lelaki pilihanmu."

Detik itu juga ada puluhan balok es yang membekukan kaki Afifah, gadis itu terdiam sesaat mendengar perkataan ayahnya.

ISTRI IMPIAN ( R E M A K E )Where stories live. Discover now