28. Istri impian

17.1K 1K 36
                                    

Jika datang kepada kalian
seorang pelamar putri kalian
yang kalian ridhoi akhlaknya
dan agamanya maka
nikahkanlah, jika kalian tidak
melakukannya maka akan terjadi fitnah (bencana) di
muka bumi dan kerusakan
yang luas.”

[HR. Ibnu Majah dari Abu
Hurairah radhiyallahu’anhu,
Shahih Ibni Majah: 1601]

***

Hari ini Afifah nampak berbeda dari biasanya. Gadis itu tengah menatap pantulan dirinya di depan cermin, sosok gadis berpakaian serba putih dengan riasan make up sederhana itu terlihat menawan dan anggun. Afifah sempat tidak mengenalnya dirinya sendiri beberapa saat tadi.

Afifah masih bingung dengan semua yang dialaminya saat ini. Kemarin dia baru pulang dari warung dan langsung diberi tahu oleh Husein bahwa ada lelaki misterius nan baik yang mengkhitbahnya lewat sang ayah, dan tanpa ragu sang ayah menerimanya.

Ini bukan bunga tidur, kan?
Bukankah baru kemarin dia meminta sang ayah untuk memilihkan siapa pun yang ia ridhoi akhlaknya, dan siapa sangka, kini ia sebentar lagi akan menyandang gelar seorang istri.

"Jangan gugup begitu dong, Fi. Santai aja, nanti kalau udah selesai bakalan lega kok," kata Nafisa ia cekikikkan, Afifah tersenyum dan mengangguk meskipun tangannya sejak tadi berkeringat serta panas dingin luar biasa.

Nafisa tengah menemani Afifah menunggu di dalam kamar selagi calon suaminya tengah melafalakan ijab qabul di depan penghulu di luar sana. Kamar Afifah sudah di sulap sedemikian rupa bak tempat tidur kerajaan sesuai latar photo pernikahan.

"Kamu cantik banget sih, Fi," celetuk Nafisa, sukses membuat Afifah tersenyum malu.

Nafisa serius, Afifah terlihat cantik tanpa riasan yang berlebihan. Tanpa mencukur alis, ataupun bulu mata palsu. Afifah menolak itu semua, ia tetaplah Afifah yang dulu, yang sederhana. Namun, mempesona.

Pantas saja Ayash jatuh cinta padanya. Gadis itu tak hanya cantik, kepribadiannya juga menarik. Sebuah komponen yang membuat Ayash bersyukur berkali-kali karena berhasil mempersuntingnya sebagai istri.

"Sini, kita selfie."

Nafisa mendekat ke arah Afifah setelah membuka aplikasi kamera di dalam ponselnya, Afifah hanya menurut saja, toh. Ia sudah diultimatum untuk menunggu di kamar selagi mempelai pria melafalkan ijab qabul dan ia akan keluar untuk mendatangani berkas.

***

Jika Afifah terlihat gugup di dalam kamar, maka Ayash terlihat lebih tegang, keringat dingin terasa membasahi telapak tangannya yang sejak tadi mengepal berusaha menahan rasa gugup yang mendera.

"Baiklah, kita mulai ijab kabulnya." Seorang bapak-bapak berpeci hitam di depanya mulai bersuara.

"Bismillahirrahmannirrahim, Ya Ayash Syahib Raki bin Luthfi Mujahiddin, saya nikah dan kawinkan engkau dengan Afifah Zahra binti Ahmad Husein dengan mas kawin cincin emas dibayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Afifah Zahra binti Ahmad Husein dengan mahar tersebut dibayar tunai."

Ayash berusaha menahan rasa gugupnya, meski beberapa kali sempat latihan ijab qabul, tetap saja rasa gugup itu tak mau pergi.

"Sah?"

"SAH!" Sorak Rafiq dan kawan-kawannya dengan heboh.

"Sah!" Seru para perempuan di barisan perempuan.

Cukup beberapa kalimat. Namun, sukses membuat Ayash tegang dan gugup luar biasa.

Afifah menahan haru. Di hari itu semesta hening seketika. Ketika sebuah kalimat terucap dari seorang manusia. Bukan sebatas kalimat biasa. Ini adalah Miistaqan Ghaliza, perjanjian yang kuat antara dua insan yang saling mencinta dengan Rabb semesta.

ISTRI IMPIAN ( R E M A K E )Where stories live. Discover now